MALANG, KOMPAS.com - Lesunya perekonomian nasional dirasakan dampaknya hingga ke para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di sektor fesyen Malang Raya.
Di tengah tantangan penurunan permintaan pasar, mereka tidak tinggal diam dan menjadikan ajang fashion show sebagai panggung strategis untuk bangkit dan berinovasi.
Harapannya, dapat memperkuat popularitas mereka di hadapan publik. Penurunan daya beli masyarakat, salah satunya dipicu oleh prioritas kebutuhan biaya masuk sekolah anak, menjadi pukulan bagi para pengusaha fesyen.
Baca juga: Tekstil Hijau dari Kombucha, Revolusi Fesyen Ramah Lingkungan
Kondisi ini memaksa mereka untuk memutar otak lebih keras agar dapur produksi tetap mengepul dan ratusan tenaga kerja dapat terus diberdayakan.
Dampak ini seperti yang dirasakan oleh Nur Abidah (44), desainer sekaligus pemilik usaha gaun anak dari Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang.
Ia mengaku adanya penurunan permintaan pasar yang signifikan. Padahal usahanya tersebut telah merambah skala semi-industri dengan kapasitas produksi mencapai ratusan gaun anak setiap hari.
Kekhawatiran pun mengancam terhadap mitra puluhan penjahit yang digandengnya.
"Kalau kondisi normal, pengiriman bisa di atas 1.000 potong per hari. Sekarang, di kondisi yang sedang tidak baik ini, turun menjadi sekitar 200 sampai 400 potong," kata Nur Abidah saat ditemui di Kota Malang pada Minggu (6/7/2025).
Meski begitu, ia menegaskan sikap pantang menyerah. Baginya, bisnis ini bukan hanya soal keuntungan, tetapi juga tentang tanggung jawab memberdayakan puluhan penjahit di sekitarnya.
Baca juga: Menteri UMKM Akan Bentuk Holding Fesyen Perbesar Kontribusi PDB dari Sektor UMKM
Untuk bertahan, inovasi menjadi kunci. Ia dan timnya mencoba cermat membaca tren pasar, mulai dari warna yang sedang digandrungi hingga menyesuaikan harga jual dengan daya beli masyarakat yang menurun.
"Saat ekonomi turun dan mendekati musim masuk sekolah, keuangan orang tua terpecah. Otomatis kita harus menurunkan grade harga. Nanti saat Desember, ketika orang butuh gaun mewah, baru kita jual grade yang lebih mahal," jelasnya.
Selain itu, ia juga berpartisipasi dalam ajang fashion show yakni Malang Fashion Runway (MFR) 2025 yang akan diselenggarakan di Malang Town Square (Matos) pada 12-13 Juli mendatang. Dua gaun anak bertemakan everyday is magic dan the garden of dreams telah disiapkan.
Menurutnya, dengan mengikuti ajang fashion show dapat berdampak positif terhadap usahanya, yakni sebagai pelaku UMKM bisa mem-branding ciri khasnya.
"Zaman sekarang, orang tidak hanya membeli produk, tapi juga prestige dan kepercayaan. Lewat event ini, kepercayaan konsumen terhadap produk kita bisa meningkat," katanya.
Di sisi lain, desainer asal Kota Malang, Vikrah Ryanda (30), pemilik usaha pakaian dari kain jumputan ini memilih jalur inovasi berkelanjutan sebagai strategi utamanya.
Desain yang diusungnya memiliki konsep zero waste untuk meminimalisasi limbah kain. Produksinya berpusat di kawasan Dinoyo, Kota Malang.
"Kami memadukan teknik jumputan khas Dinoyo dengan lukis tangan akrilik. Pola potongnya kami rancang agar tidak menghasilkan limbah. Ini membuat potongan baju kami unik, mirip gaya busana Jepang yang juga banyak menerapkan prinsip zero waste," kata Vikrah.
Pasarnya yang spesifik, menyasar para pekerja seni, sanggar tari, teater, hingga penyewaan untuk kebutuhan acara, membuatnya harus lebih gencar dalam melakukan edukasi dan promosi.
Sama seperti Nur Abidah, Vikrah percaya dengan mengikuti ajang MFR 2025 menjadi jembatan untuk mengenalkan konsepnya kepada khalayak yang lebih luas.
"Brand fashion butuh promosi. Kami perlu mengedukasi masyarakat bahwa kain etnik buatan tangan pengrajin lokal bisa dikemas secara modern dan sederhana. Alhamdulillah, acara seperti ini sangat membantu mendongkrak nama Hamparan Rintik," ujarnya.
Sementara itu, Mall Director Matos, Fifi Trisjanti, menyampaikan bahwa MFR adalah wadah kolaborasi dan promosi yang kuat bagi para desainer, UMKM tekstil, dan komunitas kreatif di Malang Raya.
Ajang ini diharapkan dapat mendukung industri kreatif lokal. MFR 2025 akan digelar di Grand Hall Matos dengan mengusung tema Moda Versa atau Gaya Tanpa Batas.
"Kami berharap kegiatan ini dapat membantu nama para desainer lokal semakin naik dan perputaran ekonomi di industri fashion membaik," kata Fifi.
MFR 2025 diharapkan bukan lagi sekadar peragaan busana dengan adanya partisipasi 56 desainer, ratusan model profesional dan cilik, serta dukungan dari berbagai pemangku kepentingan.
Baca juga: Terapkan Sustainable Fashion, Kami Idea Manfaatkan Sisa Bahan Fesyen
Kegiatan ini diupayakan menjadi simbol resiliensi, panggung harapan, dan mesin penggerak bagi UMKM fashion Malang Raya untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang di tengah ketatnya persaingan dan tantangan ekonomi.
"Partisipasi kegiatan ini makin luas, bahkan ada yang dari luar daerah seperti Kalimantan dan Jakarta. Ini menunjukkan industri fesyen Malang siap tampil di panggung nasional," katanya.
Ia juga menyoroti peningkatan pada jumlah desainer busana anak, yang menandakan pesatnya pertumbuhan sektor ini. Lebih dari 400 model cilik juga akan tampil, dengan harapan dapat memperkuat posisi MFR sebagai ajang yang inklusif untuk semua usia.
Dari sisi dampak ekonomi langsung, pihak penyelenggara optimistis. Marcomm Matos, Sasmita Rahayu, menargetkan adanya lonjakan pengunjung yang signifikan selama acara berlangsung.
"Target kami ada kenaikan traffic pengunjung 25-30 persen setiap harinya. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, perkiraan ini bisa meleset ke atas hingga 50 persen. Jika hari biasa pengunjung 5.000-7.000 orang, saat MFR bisa mencapai 10.000 pengunjung per hari," proyeksi Sasmita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya