JAKARTA, KOMPAS.com - Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Kementerian Koperasi dan UKM mencatat, jumlah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) mencapai 65,47 juta unit pada tahun 2019.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor pada April 2022 mencapai 27,32 miliar dollar AS atau meningkat sebesar 47,76 persen secara tahunan (yoy).
Dari jumlah tersebut, kontribusi ekspor melalui UMKM dinilai masih relatif rendah. Data Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan, sebanyak 65 juta UMKM hanya menyumbang 15 persen dari total nilai ekspor nasional.
Padahal, Indonesia punya berbagai komoditas yang berpotensi untuk diekspor. Diekspornya komoditas-komoditas Indonesia bisa mendongkrak devisa yang masuk.
Dalam bisnis ekspor, buyer adalah muara dari sebuah proses. Produk dan segala persiapannya sudah maksimal, jika belum mendapatkan buyer dari luar negeri bisa dikatakan belum berhasil.
Mengekspor produk ke luar negeri punya banyak cara dan banyak resikonya. Permasalahan yang sering dialami karena belum memiliki koneksi maupun cara untuk dapat meraih buyer yang berpotensi.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) punya program berbasis pengembangan komunitas bernama Desa Devisa. Program Desa Devisa bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dan mengembangkan komoditas unggulan desa.
Ketua Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif LPEI, Riyani Tirtoyoso mengatakan, pihaknya telah melakukan program pengembangan Desa Devisa sebagai salah satu akselerator ekspor nasional dan program pemberdayaan sumber daya untuk kesejahteraan masyarakat.
Saat ini LPEI sudah memiliki 134 Desa Devisa sebagai program yang berkelanjutan untuk peningkatan kapasitas ekspor dan sumber daya masyarakat. Adapun 134 Desa Devisa tersebut memiliki komoditas atau produk yang berbeda antar wilayah.
Lalu apa saja yang harus disiapkan oleh pelaku UMKM untuk ekspor? Apa saja yang dilakukan LPEI dalam program Desa Devisa?
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.