JAKARTA, KOMPAS.com — Persaingan di pasar ritel saat ini semakin ketat dengan kehadiran merek-merek asal China yang dinilai semakin agresif memperluas pangsa pasar mereka di Indonesia.
Hypefast, sebagai perusahaan ritel berbasis teknologi yang menaungi sejumlah merek lokal di Asia Tenggara, menyoroti bahwa merek lokal tengah menghadapi tantangan besar, terutama dari kompetisi dengan merek asing seperti merek asal China. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh CEO Hypefast, Achmad Alkatiri.
Baca juga: Tantangan dan Strategi Tarunira Mendorong Digitalisasi Petani Lontar
Dalam pemaparannya di acara disuksi bertajuk “Key Growth Driver for Local Brands in 2025”, Achmad memiliki beberapa penjelasan yang mungkin menjadi alasan mengapa saat ini merek lokal menghadapi tantangan atas dominasi merek China.
Salah satu keunggulan utama merek China adalah kemampuan mereka menawarkan harga yang lebih rendah dibandingkan merek lokal, bahkan mencapai 20-30 persen lebih murah.
Tak bisa, dipungkiri beberapa konsumen cenderung membeli produk dari luar karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan produk lokal.
Hal ini dimungkinkan berkat skala ekonomi yang besar dan efisiensi produksi yang tinggi. Merek-merek ini memiliki rantai pasok yang kuat, sumber bahan baku yang murah, dan proses produksi yang bisa memangkas biaya.
Baca juga: Tantangan Menggunakan Konsinyor dalam Bisnis dengan Sistem Konsinyasi
“Kalau merek China di compare dengan teman-teman merek lokal, di segmentasi produk yang sama, rata-rata harga merek China itu 20-30 persen lebih murah. Dengan produksi dan ekosistem yang memungkinkan mereka untuk bersaing pada harga yang jauh lebih murah,” ungkap Achmad.
Achmad menyebutkan, merek China mengalokasikan anggaran yang cenderung lebih besar untuk pemasaran, mencapai hingga 35 persen dari pendapatan mereka. Kemudian Achmad membandingkan, jika dilihat merek lokal biasanya hanya mengalokasikan sekitar 7-10 persen.
Investasi ini mereka gunakan untuk berbagai saluran pemasaran, seperti iklan di media digital, billboard, promosi di platform e-commerce, hingga kolaborasi dengan influencer.
Dampak dari strategi ini adalah merek China yang semakin dominan di berbagai platform pemasaran, sehingga memperkuat mereka untuk membangun brand awareness.
Baca juga: Tantangan UMKM dalam Melakukan Ekspansi dan Cara Mengatasinya
“Which is lead to our next findings, merek China di Indonesia itu spending sampai dengan 35 persen untuk marketing. Sementara untuk merek lokal secara keseluruhan, itu 7-10 persen. Mereka memiliki cost ratio marketing yang sangat berbeda, hingga tiga kali lipat dari rata-rata merek lokal. Ini menjadikan mereka jauh lebih terlihat oleh konsumen,” katanya.
Kecepatan menjadi salah satu faktor utama keberhasilan merek China. Dengan kemampuan untuk mempelajari tren pasar dan memproduksi produk dalam waktu singkat, mereka dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan konsumen lebih cepat dibandingkan dengan merek lokal.
Pasalnya, merek China cenderung dapat memanfaatkan data dari pasar untuk mengidentifikasi produk populer, lalu mengadaptasi produk tersebut dalam waktu dua hingga tiga bulan. Proses yang cepat ini memberikan mereka keunggulan besar dalam merespons perubahan permintaan pasar.
Baca juga: Tantangan Menjual Produk Tunggal dan Strategi untuk Mengatasinya
“The next insight yang kita punya adalah, secara kecepatan rata-rata merek China itu cuman membutuhkan waktu setengah dari waktu average yang teman-teman merek lokal untuk melakukan perubahan,” tambah CEO Hypefast tersebut.
Bahkan kini merek China secara agresif mulai memasuki pasar daerah dengan jaringan distribusi yang luas. Hal ini memberikan mereka keunggulan dalam menjangkau konsumen di seluruh Indonesia, termasuk di wilayah yang selama ini kurang atau belum dimaksimalkan oleh merek lokal.
“Trust me, tujuh dari sepuluh toko di daerah sekarang itu sudah pasti ada produk dari merek China. Jadi mereka juga sudah masuk ke daerah-daerah,” tambahnya.
Baca juga: Ketahui 3 Tantangan Utama Menyusun Strategi Market Positioning
Masih berhubungan dengan hal ini, Achmad juga menyebutkan sebanyak 6 dari 10 konsumen Indonesia kemungkinan tidak dapat membedakan apakah produk yang mereka beli adalah merek lokal atau merek China.
“Berdasarkan asumsi dari kami, 6 dari 10 orang Indonesia itu tidak bisa membedakan mana merek lokal, atau mana merek China. Mereka masih mengira China Brand itu local brand. Satu hal yang bisa kita lakukan untuk bisa terus mendorong lokal brand, adalah dengan cara pendekatan emotional marketing,” pungkas Achmad.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.