Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Eduardus, dari Tukang Ojek jadi Pengusaha Daun Kelor Beromzet Ratusan Juta

Kompas.com - 07/09/2022, 09:00 WIB
Sigiranus Marutho Bere,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi

KUPANG, KOMPAS.com - Merantau ke Pulau Sumba pada tahun 1996 menjadi pilihan Eduardus Seran Klau (36).

Eduardus adalah pria lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) asal Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam benak Eduardus, ia ingin mengubah nasibnya di tanah orang.

Bermodal semangat untuk maju, Eduardus pun mulai menggeluti sejumlah jenis usaha. Dari tukang ojek hingga penjual ikan.

Perjalanan hidup Eduardus berlanjut dengan menikahi seorang wanita asal Kabupaten Sumba Timur. Anak pertamanya, seorang perempuan lahir.

Eduardus semakin bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Puncaknya, pada tahun 2018, Eduardus mulai mengenal usaha kelor.

Waktu itu, ada pencanangan dari Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. Seluruh desa di NTT diminta menanam kelor.

"Di situ saya melihat bahwa ini peluang. Ada apa di balik program kelor ini, kata saya dalam hati waktu itu. Pasti ada sesuatu yang besar, bagi kami sebagai seorang wirausaha. Akhirnya saya coba pelajari bagaimana caranya pengolahan kelor ini. Maka dapatlah channel Youtube dari guru besar saya pak Dedi Krisnadi dari Dapur Kelor," kata Eduardus kepada Kompas UMKM, Selasa (6/9/2022).

Dari channel Youtube tersebut, Eduardus mulai belajar bagaimana membuat serbuk kelor dalam skala kecil. Setelah itu, ia mencoba menjualnya. Voilla, ternyata laku.

"Mungkin juga ada yang beli karena kasihan. Saya terus berjalan tapi dengan satu keyakinan suatu saat akan jadi besar. Ini bukan pengakuan Indonesia atau daerah tapi pengakuan dunia dan telah melewati ribuan kali studi banding terkait kelor untuk penanganan stunting. Dengan pemahaman itu membuat saya tetap konsisten," jelas Eduardus.

Eduardus dengan yakin menawarkan produk serbuk kelornya ke Kelurahan Malumbi di Sumba Timur.

Omzet Berkembang

Eduardus mulai presentasi dan mendapat sambutan yang ia tidak pernah duga. Gayung pun bersambut. Omzet penjualannya terus berkembang.

Pihak Kelurahan Malumbi membeli produknya senilai Rp5 juta. Uang itu bagi Eduardo adalah nilai yang besar. Ia saat itu baru banting stir dari tukang ojek dan penjual ikan.

"Istri saya bilang ini peluang. Akhirnya, dari satu kelurahan itu saya coba tawarkan ke kelurahan lain. Yang uniknya tidak diundang tapi saya akan hadir. Acara apapun itu saya akan hadir meski tidak diundang untuk menawarkan olahan kelor yang saya punya," ujar Eduardus.

"Tapi saya punya persoalan untuk menunjang proses produksi. Kalau bahan baku banyak karena Sumba Timur, di tempat tinggal saya letaknya dekat pantai. Apalagi habitatnya 0 sampai dengan 5.000 meter di atas permukaan laut jadi banyak sekali kelor," sambung Eduardus.

Usaha kelor Eduardus berubah ketika suatu waktu ia ikut kegiatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait UMKM di Sumba Timur.

Pada momentum itu, Ketua Dekranasda NTT Julie Sutrisno Laiskodat hadir sebagai pemateri. Itulah perjumpaan awalnya dengan istri Gubernur NTT tersebut.

Bermodal nomor kontak Julie Sutrisno Laiskodat, ia telah menyimpan sebuah harapan untuk bisa berkomunikasi. Akhirnya, Eduardus bisa berkomunikasi dengan Julie.

Ia mengutarakan sulitnya berkembang jika tak ada pendampingan dan bimbingan untuk produksi daun kelor. Julie pun menugaskan seseorang bernama Kiky untuk menghubungi Eudardus.

"Sejak dari situ saya bilang wah berarti saya tidak sendiri yang main kelor," ujar Eduardus.

Tak butuh waktu yang lama, Eduardus dihubungi oleh Kiky. Semenjak itu ia mendapat pendampingan dari Dekranasda NTT melalui Dapur Kelor.

Eduardus selalu mengikuti pelatihan dan pendampingan yang diberikan oleh Dapur Kelor. Berbekal ketekunan, Eduardus pun terus mengembangkan usahanya.

"Saya dapat bantuan dari Dekranasda NTT satu unit mesin pengering dan mesin spinner 1 unit, satu unit mesin penepung, dan satu unit mesin pengemasan. Bantuan itu membuat saya lebih semangat lagi dalam bekerja terkait kelor," kata Eduardus.

Eduardus pun mendirikan perusahaan dengan nama PT Kelor Marada.

Tawarkan Kelor untuk Penanganan Stunting

Pengusaha daun kelor, Eduardus Seran Klau.KOMPAS.com/SIGIRANUS MARUTHO BERE Pengusaha daun kelor, Eduardus Seran Klau.

Waktu terus berjalan. Eduardus membaca peluang program pemerintah Provinsi NTT untuk menurunkan angka stunting. Ia masuk ke setiap pelosok desa untuk menawarkan kelor sebagai jalan satu-satunya dalam penanganan stunting.

"Apalagi pada musim penghujan, saya lihat di desa desa orang suka makan mi dengan nasi. Padahal kan sama sama karbohidrat. Nasi ketemu nasi lalu apa gizinya? Sehingga saya punya niat untuk perjuangkan ini ke desa-desa," jelas Eduardus.

Ia mulai turun ke setiap desa untuk presentasi. Eduardus mengungkapkan banyak tanggapan beragam soal presentasinya itu. Ada yang percaya ada yang tidak. Eduardus kemudian memfokuskan dirinya pada kelompok-kelompok yang percaya terkait manfaat kelor dalam penanganan stunting.

Dari kegigihan dalam melakukan presentasi, Eduardus mendapat respon dari beberapa desa.

"Saya melihat peluang itu ada di desa karena ada dana pemberdayaan kurang lebih 30 persen dari total dana desa dan tahun depan itu sudah naik 40 persen setiap desa," kata Eduardus.

Dampak dari usaha kelor selain untuk penanganan stunting juga memiliki dampak luar biasa dalam kehidupan pribadinya.

Eduardus dulu yang hidup susah karena menggantungkan hidupnya pada jasa ojek, kini telah berubah total.

Ia tak lagi gundah gulana lantaran pemasukan yang seret. Ia tak lagi berteduh di bawah tempat tinggal yang seadanya dan sempit.

Ia telah bertransformasi dari yang serba kekurangan menjadi Eduardus yang sukses. Semua karena daun kelor.

"Saya dulu ojek dan susah. Sudah 17 kali berusaha namun gagal terus. Saya sempat hampir menyerah sampai saya lihat langit. Tuhan kenapa saya begini terus,"

"Saya sudah merantau dengan modal baju di badan apalagi saya ambil istri orang Sumba. Tapi ingat pepatah Tiongkok kalau tujuh kali jatuh harus bangun delapan kali. Ini saya sudah terlanjur merantau dan harus berjuang. Dan Tuhan mempertemukan saya dengan kelor. Dan Tuhan memberkati saya," kata Eduardus.

Daun kelor "menyulap" hidup Eduardus

Pengolahan daun kelor di Nusa Tenggara Barat.KOMPAS.com/SIGIRANUS MARUTHO BERE Pengolahan daun kelor di Nusa Tenggara Barat.

Pemasukan dari usaha kelor kini omzetnya mencapai ratusan juta rupiah.

Dari rumah bebak, rumah tradisional berukuran 5x7 meter kini Eduardus sudah bangun rumah permanen ukuran 7x9 meter dan rumah produksi kelor berukuran 16x4 meter.

"Puji Tuhan, beberapa waktu kemarin saya baru beli mobil Toyota Rush. Itu semua hasil dari kelor," kata Eduardus.

Eduardus mengaku tak pernah membayangkan bisa berada pada titik ini. Dari kegagalan demi kegagalannya, Tuhan telah mempertemukan Eduardus dan kelor.

Tanaman yang dulu dipersepsikan sebagai sayuran biasa dan pagar pembatas kebun, kini telah mengantarkan Eduardus sebagai orang sukses.

Ia mengatakan tak hanya pengentasan stunting, transformasi hidup yang miskin menjadi sukses, melainkan kelor juga mengubah hidup kelompok tani di sekitarnya.

Ada kelompok tani yang memiliki omzet hingga Rp8 juta per bulan dari tanaman kelor. Bahkan bisa membuka lapangan pekerjaan buat pengangguran dalam ekosistem budidaya dan pengelohan kelor.

"Saya juga bentuk tim pencari kelor liar yang singkat PKl. Jadi kelor di seputaran kota habis saya buat. Tambah lagi Koramil 05 di Kota Waingapu jadi tambah ramai sudah orang berburu kelor dan budidaya kelor. Di tempat saya ada lima tim yang membantu produksi kelor dan jaringan pemasaran saya adalah desa desa yang sudah saya presentasi tadi," jelas Eduardus.

Ia pun mengucapkan terimakasih kepada Viktor Bungtilu Laiskodat dan Julie Sutrisno Laiskodat yang meretas jalan baginya untuk mendulang sukses dari tanaman kelor.

"Tanpa mereka (Viktor dan istrinya) saat ini mungkin saya masih tukang ojek. Dan Pak Dedy sebagai bapak yang sudah membimbing saya di jalan ini. Kalau bukan karena channel YouTube nya saya masih ojek juga," ujarnya terharu.

Direktur PT Moringa Wira Nusa sekaligus Founder Dapur Kelor, Dedi Krisnadi mengatakan, kisah sukses Eduardus juga sudah dialami oleh beberapa UMKM yang bergerak di bidang kelor.

Dedi menjelaskan lebih lanjut banyak UMKM yang sudah membuka pasar ke luar NTT bahkan keluar negeri dan memiliki omzet hingga ratusan juta rupiah.

"Mereka yang mendapat manfaat dari tanaman kelor adalah mereka yang sejak awal ikut arahan Gubernur NTT, Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat. Saat ini produksi Kelor dari 3,2 ton per bulan sudah naik ke 7,2 ton per September ini," ujar Dedi.

PT Kelor Marada yang digawangi oleh Eduardus merupakan binaan Dapur Kelor bersama 36 sentra Pengelolaan kelor lainnya di bawah Korem Wirasakti 161 Kupang dan 14 UMKM di bawah binaan Dekranasda NTT.

"Jadi Dapur Kelor ini sebenarnya Binaan Dekranasda NTT dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NTT. Kami diamanatkan untuk membina UMKM-UMKM lainnya. Kami melatih lagi. Sehingga tidak disadari bahwa ketika kami dibina oleh Dekranasda NTT dan Disperindag, kami membina lagi UMKM lainnya,"kata Dedi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau