Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Layanan Bantuan Hukum Responsif untuk Membangun Resiliensi Masyarakat

Kompas.com - 22/09/2023, 16:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA bulan lalu, dalam pertemuan kecil yang diadakan oleh beberapa aktivis hukum, Ahmad berbicara pada saya tentang keinginannya untuk mendapatkan layanan bantuan hukum.

Ia membutuhkan bantuan hukum karena berharap suatu saat dapat menjadi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Ahmad pernah mencoba berkonsultasi pada seseorang ahli hukum, tetapi dimintai biaya yang tidak sanggup ia penuhi.

Kemudian, ia mencoba mengurus surat keterangan kurang mampu sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma, tetapi ditolak karena dianggap masih mampu atau bukan tergolong orang miskin.

Sebelum 2021, Ahmad merupakan salah seorang pegawai perusahaan dengan gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun kemudian keadaan berubah dratis ketika ia kena PHK.

Sejak itu tidak ada lagi pendapatan tetap dan pekerjaan baru yang sesuai sehingga ia terpaksa harus menjual hartanya sedikit demi sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Untuk menopang hidup, ia jualan es kelapa, kopi, dan gorengan di warung kecil di pinggir jalan. Di samping itu ia bekerja serabutan.

Secara tampilan luar, Ahmad memang terlihat seperti orang berkemampuan. Ia memiliki rumah tergolong layak, kendaraan, dan warung kecil.

Namun di balik itu, kehidupan ekonominya makin hari makin kritis dan berada di ambang garis kemiskinan.

“Saya sudah ngap-ngapan untuk menyambung hidup,” katanya dengan mata berbinar.

Resiliensi masyarakat

Indonesia sejak awal merdeka dan hingga hari ini memiliki tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Cita-cita negara tertera di dalam pembukaan UUD 1945.

Dalam mewujudkan tujuan pengentasan kemiskinan, salah satu strategi yang sedang digalakkan adalah pemberdayaan dan penguatan pelaku usaha UMKM.

Sejak dideklarasikan, UMKM telah menjadi program penting di dalam pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat.

Sebagai entitas bisnis yang menjanjikan, telah membuat banyak orang ingin mencoba peruntungan di dunia usaha UMKM, termasuk Ahmad yang sedang menyiapkan dirinya untuk menjadi bagian dari puluhan juta manusia lainnya.

Menurut data Kementerian Koperasi dan UMKM, sampai 2023, kurang lebih terdapat 65,4 juta UMKM dengan total tenaga kerja mencapai 114,7 juta orang. Angka tersebut bisa jadi belum mencerminkan jumlah sesungguhnya.

Upaya pemerintah dan instansi lainnya untuk penguatan dan pemberdayaan terhadap pelaku usaha UMKM cukup signifikan.

Misalkan, program Kampung Tangguh Jaya (KTJ), yang digagas oleh Komjen Pol Dr. M. Fadil Imran, ketika menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya, merupakan salah satu contoh terobosan best practice yang menunjukkan peran aktif negara dalam membantu masyarakat dan para pelaku UMKM.

Dua tahun silam, ketika saya diminta mengevaluasi pelaksanaan program Kampung Tangguh Jaya (KTJ), saya melihat bagaimana program KTJ bukan saja menangani penyebaran Covid-19, tetapi juga menjadi pilar pendukung pembangunan perekonomian masyarakat.

Melalui program KTJ, jajaran kepolisian didorong responsif dan bertindak aktif membantu para pelaku UMKM mulai dari memberikan edukasi, asistensi, hingga membantu mengurus perizinan seperti NIB (Nomor Induk Berusaha) dan IUMK (Izin Usaha Mikro dan Kecil). Kurang lebih terdapat 68 UMKM di dalam bagian program KTJ.

Dirreskrimsus Polda Metro Jaya, AKBP Auliansyah Lubis dan Wadirkrimsus AKBP Roberto G.M. Pasaribu saat itu, juga menunjukkan secara langsung kepada saya pelaksanaan program KTJ yang berada di bawah asuhan Ditreskrimsus, yang terletak di Kelurahan Pancoran, Pesanggarahan, Pela Mampang, Lenteng Agung dan Kalibata.

Di samping itu, jajaran Polda Metro Jaya juga giat mempromosi produk-produk UMKM. Seperti kegiatan bazar yang menghadirkan para pelaku UMKM untuk menjajakan produknya di halaman parkir Ditreskrimsus Polda Metro Jaya.

Pada dasarnya, bantuan hukum merupakan hak setiap individu atau hak asasi manusia. Sejalan dengan konsepsi tersebut, maka menjadi kewajiban dan tanggung jawab bagi negara. Di samping itu juga melekat tanggung jawabnya pada profesi advokat.

Dalam sektor UMKM, upaya pemerintah untuk memudahkan UMKM turut dibarengi dengan jaminan pemberian perlindungan hukum dan bantuan hukum bagi pelaku usaha.

Instrumen hukum yang mengatur tentang bantuan hukum, telah tersedia dalam beragam bentuk peraturan perundang-undangan mulai dari tingkat pusat hingga tingkat daerah.

Sebagai gambaran tentang ketentuan yang mengatur bantuan hukum kita dapat merujuk pada UU Bantuan Hukum No. 16 Tahun 2011 (UU BH), Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah No. 20 Tahun 2008 (UU UMKM), Undang-Undang Cipta Kerja, dan UU Advokat No. 18 Tahun 2003.

Kemudian beberapa peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah (PP) tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberitan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma No. 83 Tahun 2008. PP ini aturan pelaksana dari UU Advokat.

Selanjutnya, Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum No. 42 Tahun 2013. PP ini turunan dari UU Bantuan Hukum.

Di samping itu, ada Peraturan Pemerintah tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah No. 7 Tahun 2021. PP ini amanat dari UU UMKM dan UU Cipta Kerja.

Melalui regulasi tersebut, diatur mengenai hak dan kewajiban serta tanggung jawab pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya untuk memberikan jaminan perlindungan hukum dan layanan bantuan hukum.

Namun, boleh jadi manfaatnya belum terasa secara merata dan menyentuh pada kaum miskin kota dan orang-orang yang tinggal jauh dari pusat perkotaan, yang ingin mendapatkan kesempatan menjadi pelaku usaha UMKM.

Di sisi lain, peraturan hukum yang ada juga memiliki sejumlah problem yang perlu ada perubahan untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan dinamika perkembangan yang bergerak begitu cepat.

Problem regulasi ini disadari oleh Badan Pembangunan Hukum Nasional (BPHN). Menurut BHPN sebagaimana dikutip dari www.bphn.go.id, ada sejumlah isu krusial yang menjadi tantangan dalam pengembangan dan pemberdayaan pelaku UMKM.

Isu krusial tersebut di antaranya (a) terkait pengubahan kriteria UMKM, bentuk pendampingan yang diberikan pemerintah, pengunaan teknologi digital, kendala terkait peningkatan daya saing dan ketahanannya; (b) akses kepada modal, keterbatasan kemampuan sumber daya manusia (SDM), pengembangan produk dan pemasaran; (c) aspek legalitas maupun perpajakan serta minimnya pelaku UMKM yang berhasil menembus pasar ekspor.

Pada sisi lain, jika dicermati isi dari peraturan hukum yang ada, juga terdapat ketidakselarasan atau tumpang tindih, perbedaan perlakuan dan tujuan peruntukan bantuan hukum.

Misalkan, UU Bantuan Hukum membatasi dan mengategorisasi bantuan hukum hanya diberikan kepada orang miskin (penerima bantuan hukum) yang menghadapi masalah hukum yang meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara. (Lihat Pasal 4).

Artinya, hanya orang miskin yang berhadapan dengan masalah hukum yang dapat mengakses bantuan hukum.

Selain itu, orang miskin yang berhak menerima bantuan hukum juga ditentukan berdasarkan standar “yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yang meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.” (Lihat Paal 5 ayat 1).

Di samping itu, agar dapat bantuan hukum harus melalui proses dan terpenuhi syarat administratif yang tidak sedikit, seperti diatur pada Pasal 14 ayat (1) huruf (a) mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum, (b) menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara, (c) melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon bantuan hukum.

Kontruksi hukum UU BH, bilamana dihubungkan dengan Ahmad, tentu saja tidak bisa diakses. Ahmad tidak sedang berperkara atau berhadapan dengan masalah hukum, tetapi membutuhkan layanan bantuan hukum untuk meningkatkan pengetahuan sebagai fondasi agar memudahkan dirinya memperoleh kesempatan mendirikan UMKM.

Bantuan hukum yang dibutuhkannya juga bukan sebatas pendidikan, penyuluhan ataupun konsultasi hukum sekali jadi, tetapi juga membutuhkan pendampingan yang berkelanjutan.

Sedangkan perangkat hukum UMKM, juga memberikan syarat-syarat yang belum memungkinkan Ahmad mengakses.

Karena jika merujuk pada teks hukum yang ada, dapat dikatakan layanan bantuan hukum hanya diperuntukkan untuk mereka yang sudah menjadi pelaku usaha UMKM, bukan bagi mereka yang sedang atau berharap akan menjadi pelaku usaha UMKM seperti Ahmad.

Misalkan, PP Koperasi dan UMKM yang mengatur detail tentang ketentuan bantuan hukum disebutkan pada Pasal 48 ayat (1) bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menyediakan layanan bantuan hukum dan pendampingan hukum kepada pelaku usaha mikro dan usaha kecil.

Ayat (2) layanan bantuan hukum dan pendampingan hukum kepada pelaku usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya.

Ayat (3) layanan bantuan dan pendampingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi; (a) penyuluhan hukum, (b) konsultasi hukum, (c) mediasi, (d) penyusunan dokumen, dan/atau (e) pendampingan di luar pengadilan.

Kemudian Pasal 49 dikatakan untuk memperoleh layanan bantuan dan pendampingan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 usaha mikro dan usaha kecil harus memenuhi persyaratan; (a) mengajukan permohonan secara tertulis kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, (b) memiliki induk berusaha, (c) menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara.

Pada titik ini, relevan mengutip perkataan Satjipto Raharjo apabila semua berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau pencarian keadilan, maka sekarang kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks, dan lain-lain.

Banyak hal yang tidak terwadahi dalam teks tertulis, seperti suasana dan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada suatu saat, serta moral yang dipeluk masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu, tidak mungkin terekam dalam teks hukum tersebut.

Kebutuhan hidup yang dihadapi oleh Ahmad merupakan realitas yang sering dialami oleh masyarakat, terutama mereka kalangan bawah, yang tak terlihat kasat mata sedang menghadapi kesulitan ekonomi.

Ancaman kemiskinan yang dihadapi oleh Ahmad sejatinya bukanlah takdir, tetapi ujian dan tantangan hidup, dan jalan keluarnya tersedia pada mereka yang berwenang, berkemampuan dan mau melayani sepenuh hati tanpa harus mengemis.

Terlebih lagi dipersulit dengan syarat-syarat administratif dan prosedur yang berbelit-belit.

Tekad Ahmad untuk berjuang masuk dalam iklim UMKM sangat kuat, sekalipun terganjal persoalan dana, pengetahuan, akses informasi dan relasi.

Keinginan Ahmad untuk mengetahui seluk beluk tentang hukum sebelum melangkah kepada tindakan konkret di dalam bisnis UMKM patut diapresiasi. Jarang ditemui orang awam yang gigih belajar hukum melebihi sarjana hukum.

Pelayanan bantuan hukum bagi masyarakat miskin ataupun masyarakat menengah ke bawah yang bercita-cita menjadi pelaku usaha UMKM perlu menjadi perhatian khusus dan prioritas.

Semua unsur mesti turut berperan aktif dan termotivasi menyediakan akses bantuan hukum, pendidikan hingga pendampingan secara konsisten dan berkelanjutan.

Layanan bantuan hukum harus meletakkan prinsip utama sebagai solusi jalan keluar untuk mewujudkan rasa keadilan dan membantu pengentasan kemiskinan.

Hal ini tentu saja diperlukan beragam upaya bersama dan terobosan baru melalui tindakan sepenuh hati, proaktif, progresif, responsif dan komunikatif yang dapat menavigasi dan mengedukasi.

Upaya bersama ini perlu dilakukan dari hulu ke hilir dan berkesinambungan sehingga dapat memberikan multiplier effect terhadap penanggulangan kemiskinan.

Di samping itu, pemberian bantuan hukum juga perlu terus diberikan secara berkelanjutan kepada mereka yang sedang menjalankan usaha UMKM guna memastikan fondasi hukum mereka tetap kuat, kepatuhan hukum, dan mencegah potensi pelanggaran hukum atau kejahatan yang berdampak pada mereka, konsumen dan masyarakat lebih luas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau