PURWOREJO, KOMPAS.com - Bekerja di perusahaan multinasional tentu menjadi impian banyak orang. Apalagi, jika gaji yang diterima sudah dua digit atau lebih dari sepuluh juta rupiah.
Namun, di Kota Semarang, Jawa Tengah tepatnya di Jalan Kedungmundu Raya, Sambiroto, Tembalang, seorang perempuan bernama Lisa Farida (44) rela resign dari pekerjaan tersebut demi memberdayakan penyandang disabilitas.
Bagi Lisa, uang bukan segalanya. Pekerjaan yang sudah mapan pun ia tinggalkan demi memberdayakan penyandang disabilitas.
Saat ditemui di stan Purworejo Expo 2023, Lisa bercerita, usaha fesyen batik miliknya dimulai sejak tahun 2010 yang lalu. Usahanya ini bermula dari keprihatinan melihat realita banyak penyandang disabilitas kesulitan mendapat pekerjaan.
"Awalnya resah melihat banyak teman-teman difabel yang tidak bisa bekerja di beberapa perusahaan. Tidak semua perusahaan bisa menerima difabel dikarenakan kesulitan komunikasi," kata Lisa pada Jumat (17/2/2023).
Saat memulai usaha, Lisa Awalnya hanya merekrut tiga orang tuna rungu untuk diberikan pelatihan dan kemampuan menjahit. Berkat kegigihan, keyakinan dan semangat dalam membantu sesama, usaha Lisa kemudian berkembang dan mampu memberdayakan banyak penyandang disabilitas di sekitar tempat tinggalnya.
"Sejak awal kita memang banyak memberi pelatihan terutama tuna rungu tapi juga ada beberapa yang lain seperti tuna daksa dan tuna grahita," kata ibu satu anak ini.
Usaha yang diberi nama Anindya Batik Difabel ini tak hanya bertujuan mencari laba, melainkan juga konsen pada pemberdayaan difabel. Bahkan beberapa sudah mandiri dan mampu membuka bisnis baru di tempat lain berkat dampingan Lisa.
Dengan konsep pemberdayaan difabel, sudah tak terhitung lagi berapa difabel yang Lisa berdayakan hingga sukses membuka usaha mandiri. Ia tak ingin Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) hanya menjadi ladang mencari keuntungan belaka. Lebih dari itu, Lisa ingin ilmunya terus bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkan.
"Kami sering merekrut mereka, setelah kita rekrut kita berikan pelatihan dan sekaligus produksi. Setelah mereka bisa, kan mereka ada yang menikah, ada yang dapat orang Kebumen, Magelang, Pekalongan nah itu mereka buka di tempat masing-masing. Itu yang kita lakukan terus menerus hingga sekarang," kata Lisa.
Di rumah produksinya, para difabel dibekali dengan pelatihan membuat desain, pola, menjahit hingga finishing. Produk yang dihasilkan pun juga bermacam-macam mulai dari baju, seragam, dan sejumlah kerajinan tangan.
Pola merekrut penyandang disabilitas untuk pemberdayaan sudah dijalani Lisa sejak 12 tahun yang lalu. Ia berprinsip, membagi ilmu yang ia dapatkan akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat khususnya bagi penyandang disabilitas.
"Jangan sampai ilmu yang sudah ada itu sia-sia jadi tetap kita bagikan kepada teman difabel. Saat ini yang masih produksi di Anindya Batik Difabel masih tujuh orang," kata Lisa.
Perjalanan UMKM Anindya Batik Difabel ini tak sepenuhnya lancar. Bahkan di awal pandemi Covid-19, usaha ini terkena dampak yang cukup parah hingga omzet menurun drastis. Namun Lisa tak tinggal diam. Di pertengahan pandemi, ia berhasil bangkit dengan berinovasi membuat produk masker.
Masker kain karya teman-teman difabel menjadi salah satu penolong Anindya Batik Difabel saat ekonomi tengah terpuruk. Waktu itu, pendapatan dari berjualan masker kain cukup memuaskan hingga bisnis ini bertahan hingga sekarang.
"Pada saat pandemi teman-teman tuli membuat masker, seragam universitas dan kantor. Pasca pandemi mereka membuat fesyen batik pria dan wanita untuk kantor maupun batik yang dipakai sehari-hari," kata dia.
Harga fesyen batik hasil kreasi difabel ini cukup bervariatif, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah tergantung model dan bahan yang digunakan. Dalam sebulan, omzet Anindya Batik Difabel ini bisa mencapai belasan juta rupiah.
"Untuk yang premium mulai dari Rp 250.000. Semalam itu ada yang terjual dihargai Rp 600 ribu. Aku rutin ikut pameran, kalau high season bisa rata-rata Rp 2 juta per hari," kata Lisa.
Perjuangan untuk mengikuti pameran di sejumlah tempat terus dilakukan Lisa agar para difabel binaannya terus bisa produksi. Kadang, pameran dengan harga lapak yang mahal harus ia ikuti demi menjual produk buatan difabel ini.
Selain itu, Lisa juga memasarkan produknya melalui platform Instagram @anindya_batik.
"Kadang sewanya mahal sampai Rp 600 ribu per hari. Soalnya kalau saya tidak nyewa, saya tidak bisa jual produk mereka, mereka tidak bisa produksi dan tidak bisa makan. Saya memang memaksakan diri untuk ikut pameran berbayar ataupun tidak," kata Lisa.
Lisa mengaku, mendampingi difabel perlu kesabaran dan ketelatenan. Pasalnya pola komunikasi dengan difabel yang kebanyakan tuna rungu berbeda dengan komunikasi dengan masyarakat biasa.
"Kita harus punya bahasa sendiri yang bisa dipahami oleh mereka. Kalau berbicara harus pakai hati," kata mantan konsultan ini.
Lisa Farida berharap, pemberdayaan difabel yang ia gelut ini mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Lisa menyebut, pihaknya seringkali membuat pelatihan dengan swadaya sehingga pelatihan kurang maksimal karena kurangnya dana.
"Setidaknya pemerintah bisa membantu untuk bahan baku atau memfasilitasi tempatnya. Karena sampai sekarang rumah produksi kami masih mengontrak. Untuk memberdayakan teman-teman difabel kita masih mengontrak, ditambah lagi saat ini daya beli masyarakat sedang turun, kadang kita jual produk di bawah harga modal," harap Lisa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.