BOGOR, KOMPAS.com - Bogor punya toko roti legendaris yang sudah berdiri sejak tahun 1920. Tan Ek Tjoan Bakery yang berlokasi di Sukasari, Kota Bogor, masih eksis sampai hari ini.
Meskipun telah lintas generasi dan kini dipegang oleh generasi ketiga, yaitu Lydia C Elia (68) bersama dengan suaminya Hadi D Setiawan (70), tetapi roti Tan Ek Tjoan masih terus dicari oleh banyak orang khususnya masyarakat Bogor.
Dari masa kolonial Belanda hingga kini Indonesia sudah berada di era digital, selama ratusan tahun menjual roti, bagaimana cara Tan Ek Tjoan tetap mempertahankan pamornya?
Menjaga mutu dan mengikuti perkembangan teknologi adalah salah satu kunci Tan Ek Tjoan untuk terus berinovasi di industri ini.
Baca juga: Sejarah Tan Ek Tjoan, Roti Legendaris asal Bogor Sejak 1920
Salah satu alasan mengapa Tan Ek Tjoan memiliki pelanggan setia adalah, karena kualitas roti yang mereka buat konsisten.
Sejak generasi pendiri pertama di tahun 1920, kemudian dilanjutkan oleh generasi kedua di tahun 1959 dan generasi ketiga di tahun 1980, cita rasa roti Tan Ek Tjoan tidak berubah.
Resep turun temurun juga terus dipakai, meskipun berpindah tangan kepengurusan ke generasi berikutnya.
Kini Tan Ek Tjoan telah banyak memiliki varian baru, tetapi mutu roti tetap sama, karena semua produknya dibuat secara handmade, mulai dari roti, kue basah, hingga es krim.
"Dari kecil saya sudah terbiasa membantu urus toko roti. Jadi diajarkan juga resep turun-temurun yang tidak berubah sampai hari ini. Nilai yang kami pegang adalah jaga kualitas dan mutu dari roti Tan Ek Tjoan, serta layani konsumen dengan baik," ungkap Lydia saat diwawancara oleh Kompas.com, Rabu (17/4/2024).
Untuk mempertahankan mutu, bisnis roti akan sangat bergantung dengan bahan baku.
Tak bisa dipungkiri, harga dan supply bahan baku tidak konsisten setiap waktu. Terkadang harga bahan baku bisa naik, tetapi sebagai toko roti tidak bisa sembarangan menaikkan harga.
Menyikapi hal ini, Tan Ek Tjoan tetap berupaya menjaga kepuasan pelanggan. Jika dalam kondisi seperti ini, Tan Ek Tjoan lebih memilih mengurangi jumlah produksi dibandingkan harus mengurangi takaran atau memperkecil ukuran roti.
"Bisnis ini sangat berpengaruh oleh bahan baku, seperti tepung dan gandum. Saat ada kenaikan harga bahan baku, kami tidak bisa juga sembarangan menaikkan harga jual," kata Lydia.
"Kalau takarannya berkurang, konsumen akan tanya 'rasanya kenapa beda?' Kalau ukurannya jadi lebih kecil juga mereka akan tanya. Jadi kami biasanya mengurangi jumlah produksi, agar takaran dan ukuran roti tidak berubah, meskipun bahan bakunya terbatas," lanjut Lydia menjelaskan.
Baca juga: Kisah di Balik Kopi Tjap Teko, Si Legedaris Lintas Generasi
Saat ini banyak sekali pesaing toko roti yang muncul, tetapi Tan Ek Tjoan tetap fokus pada tokonya sendiri.
Jika kebanyakan bisnis Food and Beverage (FnB) seringkali tergesa-gesa mengikuti tren kuliner yang perputarannya cepat, Tan Ek Tjoan justru tidak terlalu mengikuti tren musiman tersebut.
Misalnya, belakangan ini banyak tren kue-kue Korea yang sedang berkembang, bahkan di mana-mana bisa ditemukan penjualnya. Tan Ek Tjoan tidak serta-merta langsung ikut menjual tren kue-kue Korea tersebut.
Selain itu, Tan Ek Tjoan juga sudah memiliki produk best seller sendiri, salah satunya roti gambang. Hingga hari ini, roti gambang yang terbilang jadul ini masih menjadi favorit banyak orang.
Jadi dalam menyikapi persaingan bisnis, Tan Ek Tjoan tidak gegabah mengikuti tren musiman.
"Meskipun saat ini banyak sekali pesaing dengan produk-produk terbarunya, kami tetap mempertahankan produk andalan Tan Ek Tjoan dan tidak terburu-buru mengikuti tren musiman. Karena belum tentu juga tren itu bertahan lama," tutur Hadi.
"Mungkin ini salah satu alasan Tan Ek Tjoan mampu bertahan sampai saat ini, karena kami punya ciri khas dan orang-orang yang sudah suka dengan roti kami, akan kembali lagi menjadi loyal customer," tambahnya.
Saat Tan Ek Tjoan masih dijalankan oleh generasi pertama, tentu pada masa itu peralatan memasak masih serba tradisional dan manual.
Lydia bercerita, saat itu Tan Ek Tjoan masih memasak roti dengan menggunakan oven bata tradisional yang menggunakan kayu bakar.
Baca juga: Cerita Yohanes Bangun Uncle Jo Coffee, Berawal karena Sering Meeting di Kedai Kopi
Mengikuti arus perkembangan zaman, kini tentunya Tan Ek Tjoan menggunakan alat-alat masak yang lebih modern.
Selain itu, kehadiran teknologi juga mempermudah Lydia dalam mengelola bisnis Tan Ek Tjoan.
"Kalau dulu pakai oven tradisional yang dari batu bata itu, sekarang beralih menggunakan alat-alat yang lebih modern. Bagaimanapun, kami tetap harus mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, kalau dulu mencatat data masih manual di kertas, kini kami menggunakan komputer jadi lebih digitalisasi," ungkal Lydia.
Sebelumnya, saat memasuki generasi kedua yaitu sekitar tahun 1959, Tan Ek Tjoan mulai memproduksi es krim. Karena baru ada kemunculan mesin es krim di Indonesia pada tahun tersebut.
Dari segi kemasan, Tan Ek Tjoan juga membuat inovasi roti gambang ukuran bites yang disimpan di dalam toples. Hal ini untuk memudahkan para pelanggan yang ingin membawa roti gambang ke luar negeri sebagai oleh-oleh.
Dengan membuat inovasi ukuran baru untuk produknya dan menyediakan kemasan toples, membuktikan bahwa Tan Ek Tjoan mengikuti flow bisnis ini sesuai dengan kebutuhan para pelanggan.
Dapat disimpulkan, meskipun sudah lintas zaman, cara Tan Ek Tjoan tetap bertahan adalah dengan terus berinovasi bersama kemunculan teknologi yang ada, sesuai dengan perkembangan di masa tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.