Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wirausaha Indonesia Jangan Jago Kandang!

Kompas.com - 08/10/2024, 11:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEPERTI sistem demokrasi di mana secara "de jure" yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi Pancasila, tapi secara "de facto" yang terjadi adalah demokrasi liberal; sistem ekonomi di Indonesia pun demikian.

Secara "de jure" yang berlaku adalah sistem ekonomi kekeluargaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi, "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan", tapi secara "de facto" yang terjadi adalah sistem ekonomi liberal.

Dalam sistem demikian, yang terjadi adalah, mengutip istilah Thomas Hobbes (1588-1679), "homo homini lupus" (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Yang berlaku adalah hukum rimba. Siapa kuat, dialah pemenang.

Sebab itu, perlu perlindungan dan pemberdayaan terhadap usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sedemikian rupa sehingga tidak akan terlibas oleh usaha besar dan konglomerasi. Wirausaha pun harus inovatif dan berkelanjutan.

Apalagi saat ini ada fenomena usaha menengah besar merambah pasar UMKM. Ibarat bertinju, UMKM dan usaha menengah-besar itu beda kelas. Kelas ringan tidak bisa dipertandingkan dengan kelas berat, karena nyaris dapat dipastikan akan kalah. Secara modal saja sudah jauh berbeda.

Yang terjadi pada akhirnya adalah semacam penjajahan ekonomi oleh bangsa sendiri. Bung Karno pernah berkata, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Ungkapan Bung Karno tersebut masih tetap relevan hingga saat ini.

Jangan jadi predator

UMKM adalah tingkatan kewirausahaan/bisnis. Tingkatan kewirausahaan di atasnya adalah usaha besar dan konglomerasi.

(Ke)wirausaha(an) adalah istilah usaha atau bisnis yang diperkenalkan di era Orde Baru, sebagai padanan kata dari (bahasa Inggris) "entrepreneurship". Jadi, UMKM merupakan bagian dari kewirausahaan.

Wirausaha kelas menengah-besar seyogianya tidak mengganggu, menyaingi bahkan menjadi predator UMKM. Apalagi menjadi pesaing pedagang kecil.

Maklum, saat ini ada fenomena usaha menengah besar mengambil segmen pasar pedagang kecil seperti "Starling" (Starbuck Keliling), misalnya.

Wirausaha menengah-besar itu melakukan penetrasi pasar dengan membuat gerobak untuk berjualan kopi.

Bagi para wirausaha muda, hendaklah jangan main di ranah pedagang kecil dengan membuat inovasi produk yang hanya mengubah kemasan agar terlihat lebih bagus dan dijual dengan harga lebih mahal. Indonesia butuh wirausaha baru yang menciptakan ekonomi baru.

Opsi lain, bidik pasar luar negeri. Seperti PT Platinum Wahab Nusantara Tbk (TGUK), emiten gerai minuman dengan nama "Teguk".

Artinya, sudah saatnya wirausaha Indonesia merambah pasar global, jangan jago kandang dan meningkatkan persaingan sengit di negeri sendiri.

Wirausaha baru, ekonomi baru

Memang, untuk "go global" atau "go international" butuh inovasi-inovasi baru. Wirausaha harus inovatif dan berkelanjutan.

Inovasi berwirausaha adalah perubahan yang terjadi di dalam suatu perusahaan guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan atau pun permintaan pasar.

Inovasi merupakan langkah mutlak yang harus diambil wirausahawan jika ingin tetap relevan di tengah gempuran perubahan zaman.

Adapun kewirausahaan berkelanjutan merupakan proses menemukan, mengevaluasi dan mengeksploitasi peluang ekonomi yang terdapat dalam kegagalan pasar yang mengurangi keberlanjutan, termasuk yang relevan dengan lingkungan.

Berkelanjutan juga berarti bertumbuh ke atas, menebarkan harum nama wirausaha Indonesia di mata global.

Pun, sudah saatnya wirausaha Indonesia tidak mengikuti tren, tetapi justru menciptakan tren baru.

Dengan potensi yang ada dari Sabang sampai Merauke, seharusnya wirausaha Indonesia bisa. Potensi itu sangat banyak, baik menyangkut kuliner maupun wastra atau kain tradisional. Untuk kuliner, bagaimana caranya membuat cendol atau dawet, misalnya, "go global".

Untuk itu, penting bagi wirausaha terkoneksi dengan perguruan tinggi dan lembaga riset untuk membantu wirausaha memproyeksikan masa depan dengan jangkauan 10-20 tahun ke depan.

Dengan wirausaha gaya baru, niscaya ekonomi baru akan terwujud, bukan sekadar jargon belaka. Insya Allah!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau