YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Suasana Selasa (3/12/2024) siang memang tidak begitu terik, karena mendung menutup sebagian wilayah Karangkulon RT 002 Wukirsari, Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Beberapa ibu-ibu tampak lihai memainkan canting di tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang kain yang sudah berpola. Sesekali mereka mengambil malam atau lilin yang berada di wajan di atas kompor yang menyala kecil menjaga agar tidak membeku.
Sudah menjadi tradisi turun temurun di Wilayah Wukirsari, sebagian ibu-ibunya menjadi pembatik tulis. Mereka belajar otodidak, dan polanya diwariskan dari masing-masing keluarga.
"Saya membatik sejak kecil, hingga saat ini masih membatik," kata Mukhoyaroh (67) ditemui di Wukirsari, Selasa.
Baca juga: Kisah Batik Aromaterapi dari Madura, Berhasil Ekspor ke Amerika Serikat
Sejak kecil, dirinya diajarkan oleh ibunya membatik. Setelah pulang sekolah, tangannya langsung memegang canting dan membatik. Suasana berubah saat gempa 2006 melanda Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah.
Saat itu, sebagian rumah milik warga Karangkulon rusak akibat gempa bermagnitudo 5,9. Trauma membekas pada benak ibu-ibu yang saat itu sedang menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Peralatan membatik pun ikut rusak tertimpa bahan bangunan.
Mereka tinggal di bawah tenda, dan praktis aktivitas membatik berhenti. Asa kembali muncul setelah ada Paguyuban Sekar jagat meminta ibu-ibu kembali membatik. Mereka didorong menyelesaikan selembar batik selama sepekan.
Awalnya diberi upah Rp 20.000 ditambah makanan untuk mencukupi kebutuhan keluarga pasca-gempa. Lalu makanan diganti uang Rp10.000 per pekan. Di tengah keterbatasan itu ucapan syukur terus diucapkan para ibu-ibu di Padukuhan Karangkulon.
"Lalu Dompet Dhuafa masuk, memberikan banyak bantuan peralatan membatik, kain, dan uang. Pelatihan juga," kata Mukhoyaroh.
Saat itu diberikan pelatihan membatik pewarna kain alami menggunakan pohon mahoni, hingga daun pepaya. Pelatihan diberikan bergiliran.
"Daunnya dimakan, airnya untuk mewarnai kala itu," ucap Mukhoyaroh.
Pengurus Inti Batik Berkah Lestari, Nani Norchayati Lestari (37) mengatakan Dompet Dhuafa memberikan bantuan mendirikan kelompok 50 orang diberikan bantuan pelatihan hingga pemasaran. Modal berupa barang memproduksi batik, dan pelatihan pewarnaan karena saat itu belum bisa mewarnai batik.
"Sekarang membatiknya di rumah masing-masing, yang membatik di sini (workshop Berkah Lestari) ada enam orang," kata Nani.
"Ini total ada 50 orang yang ikut," ucap Mukhoyaroh.
Baca juga: Peluang Bisnis Batik Ramah Lingkungan dari Limbah Kertas
Dikatakannya, pendampingan dompet Dhuafa hingga kini masih bisa dinikmati warga sekitar, sejak tahun 2007 sampai 2010. Setelah itu, ada program Dompet Dhuafa care visit, hingga merenovasi bangunan.
Dompet Dhuafa mensupport pembuatan selendang terpanjang dan masuk rekor Muri tahun 2007. Sejak saat itu Batik Berkah Lestari terkenal.
Adapun untuk pemasaran, Nani mengatakan pihaknya menggunakan media sosial untuk memasarkan selain menyetorkan di paguyupan batik Wukirsari. Bahkan beberapa waktu lalu mengirimkan batik sampai keluar negeri.
Untuk motif batik sebagian besar klasik Jogja, seperti Sidomukti hingga Sidoasih.
"Wisatawan Jepang datang dan dikirim, kita pernah kirim ke Britania Raya," kata dia.
Saat ini rata-rata usia 40 an tahun. Sehingga diperlukan generasi penerus yang lebih muda. Untuk membuat kain batik halus, dirinya harus mencari ibu-ibu yang bisa membatik halus, karena butuh ketelatenan.
"Yang diperlukan pendampingan pembatik muda kalau penjualan sudah lumayan," kata dia.
Manager Program Dompet Dhuafa DIY Bambang Edi Prasetyo mengatakan di wilayah Imogiri, pasca gempa Dompet Dhuafa waktu itu memiliki beberapa program. Mulai pendidikan hingga ekonomi.
Aset pembatik rusak karena gempa 2006, dan pihaknya memfasilitasi.
"Berkah Lestari kelompok pertama, dulu membatik sendiri-sendiri. Pasca gempa menjadi pusat membatik dan mewarnai," ucap Bambang.
Baca juga: Inovasi dalam Industri Batik, CV. Astoetik Buat Kompor Batik Listrik
"Dulu sebelum ada intervensi mewarnai belum menjadi keahlian di daerah Imogiri. Kalau membatiknya iya, pakem batik kraton," kata dia.
Motif batik khas keraton warna sogan, seperti coklat mendekati hitam. Ada ratusan pembatik saat ini yang berada di Kalurahan Wukirsari.
Giriloyo menjadi kampung batik, dan salah satu dari 55 desa di dunia menjadi The Best Tourism Village 2024 atau Desa Wisata Terbaik Dunia oleh United Nations World Tourism Organization (UNWTO).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.