JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop) menyatakan bahwa saat ini masih ada sejumlah isu yang belum terselesaikan di penghujung pemerintahan Presiden Jokowi terkait dengan penyaluran pembiayaan UMKM, yakni belum tercapainya target rasio yang ditetapkan.
Plt. Deputi Bidang UKM KemenKop UKM, Temmy Satya Permana mengatakan, target rasio pembiayaan 30 persen untuk UMKM pada tahun 2024 tidak tercapai karena beberapa faktor.
Terkait hal ini, BAPPENAS juga sudah memprediksi bahwa tahun 2024 hanya bisa mencapai kurang lebih 24 persen, meskipun KemenKop UKM masih menunggu sampai akhir tahun dan melihat apakah ada perbaikan yang signifikan.
Baca juga: Dukung Pebisnis Kopi Lokal, Kemenkop UKM Beri Pelatihan untuk Barista
"Kalau dibilang, sebenarnya enggak pesimis, tapi agak realistis ya, bahwa memang sepertinya 20-30 persen kita akan sulit achieve, karena memang enggak cuma kami sebetulnya yang harus mendorong, tapi juga pasarnya memang lagi melemah sekarang," kata Temmy dalam Konferensi Pers : Inovasi Pembiayaan Untuk UMKM, di KemenKop UKM Jakarta, (03/10/2024).
Terlebih lagi saat ini situasi ekonomi global menunjukkan pelemahan, terutama di Eropa yang hanya tumbuh 0,6 persen year on year dengan inflasi tinggi sebesar 4,1 persen pada Agustus 2024.
Temmy mengutip sejumlah proyeksi yang menyatakan bahwa terdapat tren peningkatan kesenjangan antara permintaan dan suplai pembiayaan UMKM pada tahun 2026 yaitu kebutuhannya Rp 4.300 triliun, sementara suplai hanya Rp 1.900 triliun.
Baca juga: Kemenkop UKM Gandeng APSKI Gelar Entrepreneur Hub Goes to Campus di Makassar
"Masih ada financial gap yang belum dapat dipenuhi oleh lembaga jasa keuangan. Saya perlu sampaikan bahwa memang target rasio kita 30 persen tahun ini, tahun 2023 hanya 19,6. Artinya masih ada PR yang belum kita selesaikan dengan baik. Dari 19,6 persen itu ternyata kredit kecil menengah itu menempati porsi yang besar yaitu sebesar 53,79 persen," lanjut Temmy.
Temmy mengatakan, dari Rp 1.364 triliun kredit kepada UMKM, lebih dari 50 persen di antaranya adalah kredit skala kecil-menengah yang tidak disubsidi dan tidak ada insentif dari pemerintah.
Di sisi lain, saat ini kondisi perekonomian yang sedang mengalami tantangan sehingga harus dicarikan alternatif penguatan ekonomi dalam negeri.
Baca juga: Kemenkop UKM Ajak Startup dan Petinggi Inkubator Jajaki Peluang Bisnis di Australia
"Ada penurunan BI rate menjadi 6 persen. Ini kita harapkan dapat memicu UKM bisa memakai akses pembiayaan lebih besar lagi di sekitar perbankan. Namun faktanya, karena pasarnya lemah jadi teman-teman UKM mau meninjam juga bingung, karena pasar permintaan juga sedang melemah," jelas Temmy.
Temmy juga menegaskan tantangan NPL tinggi yang tidak bisa hindari. Salah satunya adalah industri teksil skala menengah banyak yang tutup. Mau tidak mau hal ini akan berpengaruh terhadap pembayaran utang perusahaan ke bank.
"Kalau kita punya usaha dan pasarnya lemah, sementara beban produksi tetap ada, beban operasional tetap ada, mau tidak mau ini pasarnya berdampak kepada NPL," ujar Temmy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.