Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Menurut teori perdagangan internasional (Krugman & Obstfeld, 2018), efisiensi biaya dan kepastian standar adalah syarat mutlak daya saing.
Fakta bahwa hanya 4 persen dari 64 juta UMKM terhubung ke ekspor (BPS, 2024) menunjukkan betapa besarnya hambatan yang harus diatasi.
Indonesia tidak sendirian menghadapi tantangan UMKM. Negara-negara ASEAN lain telah membuktikan bahwa orkestrasi kebijakan dapat melahirkan UMKM yang kompetitif.
Vietnam, misalnya, berhasil mendorong UMKM melalui strategi export-oriented clusters yang terintegrasi dengan kebijakan investasi asing. Hasilnya, kontribusi UMKM Vietnam terhadap ekspor mencapai lebih dari 25 persen pada 2022 (UNCTAD, 2023).
Baca juga: Ketika Ekonomi Vietnam Melaju Kencang
Thailand juga menjadi contoh sukses dengan sektor One Tambon One Product (OTOP), yang mengangkat produk khas desa menjadi komoditas global melalui sertifikasi, branding, dan dukungan logistik.
Program ini meningkatkan daya saing produk lokal sekaligus memperluas pasar internasional (ADB, 2021).
Malaysia pun telah lama mengintegrasikan UMKM ke dalam ekosistem perdagangan global melalui SME Corp yang menjadi pusat koordinasi nasional. Lembaga ini memastikan bahwa pembiayaan, pelatihan, dan akses pasar berjalan selaras.
Menurut laporan Organisation for Economic Co-operation and Development, OECD (2022), kebijakan terintegrasi Malaysia membantu UMKM tumbuh dengan rata-rata produktivitas lebih tinggi dibanding rata-rata ASEAN.
Kisah sukses ini menunjukkan bahwa keberhasilan UMKM bukan sekadar hasil kerja keras pelaku, melainkan buah koordinasi kebijakan yang rapi.
Indonesia punya potensi sama, asalkan mampu melahirkan dirigen yang menyatukan banyak aktor ke dalam satu irama.
Solusi bagi Indonesia tidak cukup hanya menambah kredit atau pelatihan. Diperlukan National UMKM & Export Transformation Agency sebagai dirigen orkestrasi UMKM.
Lembaga ini akan menghubungkan modal, pasar, teknologi, dan SDM sehingga intervensi tidak saling tumpang tindih.
BPD dan BPR dapat difokuskan membiayai klaster ekspor, perguruan tinggi diarahkan membangun living lab UMKM, sementara CSR perusahaan swasta maupun BUMN digerakkan untuk program jangka panjang seperti digitalisasi rantai pasok dan sertifikasi.
Baca juga: Paradoks Jokowi di Panggung Global: Antara Citra dan Realitas
Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 6–7 persen menuju Indonesia Emas 2045, dan menegaskan bahwa “UMKM adalah pilar kedaulatan ekonomi bangsa” (Pidato Presiden, 2024).
Jika kontribusi ekspor UMKM naik dari 15 persen menjadi 25 persen, tambahan devisa bisa mencapai 30–40 miliar dollar AS per tahun (Kemenkeu, 2024).
Teori pembangunan endogen (Romer, 1990) menekankan pentingnya inovasi lokal sebagai motor pertumbuhan, dan UMKM adalah representasi nyata inovasi tersebut.
Pertanyaannya kini: apakah Indonesia siap melahirkan seorang dirigen untuk menyatukan orkestra UMKM, agar tampil gagah menghadapi panggung besar pasar bebas 2027, atau tetap membiarkan mereka riuh tanpa irama?
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarangArtikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya