JAKARTA, KOMPAS.com – Batik merupakan warisan lokal Indonesia yang juga menjadi identitas khusus bagi masyarakat Indonesia.
Berasal dari daerah atau kota berbeda menjadikan setiap batik memiliki keunikan motif, warna, dan filosofi yang berbeda-beda.
Kustalani Syakir (44) selaku pemilik Brand Batik Tubo Ternate memperkenalkan Batik khas Ternate miliknya yang diberi nama Batik Tubo.
Baca juga: Batik Lawasan Jawi Kinasih Andalkan Pameran untuk Raup Cuan
“Tubo sendiri merupakan salah satu kampung tertua di Ternate, yang mana kampung ini termasuk ke dalam asal muasal Ternate. Kemudian Tubo juga sangat populer dari sisi keseniannya atau alat musik tradisional kota Ternate, yaitu Gala Tubo,” jelas Kustalani saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/3/2023).
Di samping itu, alasannya merintis Batik Tubo Ternate sejak tahun 2009 ini adalah karena melihat keterbatasan pemenuhan kebutuhan oleh-oleh khas Ternate. Kebanyakan produk oleh-oleh hanyalah berupa makanan.
Kustalani menyebutkan batik yang diproduksinya terdiri dari dua jenis, yakni batik cap dan batik tulis.
Baca juga: OJK Beri Edukasi Keuangan untuk UMKM Ciamis
“Dalam prosesnya itu kita ada dua ya, batik cap dan batik tulis. Nah untuk motif-motifnya sendiri kita menggambarkan ciri khas dari Ternate, seperti biasanya itu kita pakai endemik-endemik, kayak burung bidadari,” tutur Kustalani.
“Kebetulan kita juga masih merujuk pada Kesultanan Ternate, bermainnya warna kita itu ada pada merah, hitam, kuning, dan hijau,” tambahnya.
Tak hanya mengangkat ciri khas Ternate, Kustalini juga memanfaatkan 100 persen sumber daya lokal, baik para pekerja yang merupakan warga lokal maupun bahan pembuatan yang berasal dari Solo dan Pekalongan.
Sudah berjalan lebih dari 10 tahun, tentu bisnisnya tak selalu berjalan dengan mulus, terlebih lagi saat pandemi Covid-19 menyerang.
Baca juga: Manfaat Pencatatan Keuangan Bisnis untuk Pelaku Usaha Mikro
Kustalani terpaksa harus menutup dua dari tiga outlet miliknya dan memulangkan seluruh karyawan yang ia punya karena tidak bisa melanjutkan proses produksi batik seperti biasanya.
“Dulu itu sebelum Covid-19 saya punya karyawan 12 orang, kemudian Covid-19 datang, saya terpaksa harus memulangkan mereka ke rumah masing-masing. Jadi untuk bertahan pada saat itu saya akhirnya berdiri sendiri, saya produksi sendiri, saya juga yang jualin sendiri,” ucap Kustalani.
Ia mengungkapkan, pada saat itu ia membuat masker batik yang sebelumnya tidak pernah ia produksi dan ia menjualnya sendiri dengan menawarkannya di jalanan-jalanan. Mau tidak mau ia harus keluar dari zona nyaman untuk bisa mencari solusi dan bertahan.
Baca juga: Tips Sukses Berbisnis dari Importir Daging Beromzet Miliaran Rupiah
Tak hanya itu, Kustalani mengungkap adanya pandemi Covid-19 mempengaruhi tingkat pendapatan yang ia terima.
“Kalau sebelum Covid-19 itu kita bisa terima hingga Rp200 juta per tahunnya. Kemudian, setelah Covid-19 ini berpengaruh jadi ada penurunan juga sampai Rp100 juta. Jadi ya sekarang kita ini masih masa pemulihan gitu untuk bangkit kembali,” ujar Kustalani.