Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menciptakan Resiliensi Ekonomi dengan Penguatan Local Value Chain

Kompas.com - 25/03/2022, 09:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kondisi global dalam beberapa dekade terakhir kerap kali diselimuti dengan ketidakpastian yang sukar untuk ditebak kondisinya dari hari ke hari.

Mulai dari terjadinya krisis finansial global (GFC), tingginya tensi dagang Amerika Serikat dan Tiongkok, kehadiran pandemi COVID-19 hingga baru-baru ini pecahnya konflik antara Rusia dan Ukraina yang memberikan dampak cukup signifikan kepada kestabilan global.

Jika kita merujuk kepada Indeks Economic Policy Uncertainty (EPU) yang kerap dipakai sebagai proxy kondisi ketidakpastian kondisi global, terlihat bahwa Indeks EPU terus mengalami peningkatan semenjak tahun 2008.

Baca juga: IMF Kembali Pangkas Pertumbuhan Ekonomi RI Jadi 5,4 Persen Tahun 2022

Kemudian EPU mencapai puncaknya pada April tahun 2020 ketika banyak dilakukan pembatasan aktivitas masyarakat dan industri karena merebaknya pandemi COVID-19.

Di sisi lain, munculnya fenomena-fenomena tersebut juga kerap memberikan kita pengalaman dan pelajaran berharga untuk senantiasa agile dalam menghadapi ketidakpastian.

Ada kutipan terkenal yang berbunyi “Every cloud has a silver lining”, atau selalu ada makna baik di setiap peristiwa sulit. Salah satu contoh nyatanya adalah bagaimana dengan kemunculan COVID-19 bisa mempercepat derap tingkat digitalisasi dunia.

Contoh nyatanya adalah di Indonesia dimana pada periode pra-pandemi di tahun 2019 transaksi e-commerce hanya tercatat sebesar Rp 206 triliun dan kemudian mengalami akselerasi hingga mencapai Rp 401 triliun pada tahun 2021 atau mencatatkan pertumbuhan 95 persen dari periode pra-pandemi.

Selain hikmah digitalisasi, adanya fenomena ketidakpastian global juga memberikan pelajaran penting lainnya terutama untuk Indonesia yakni diperlukannya penguatan ekonomi domestik seiring dengan terdisrupsinya perdagangan global.

Fenomena Deglobalisasi dan Lesson Leaned

Berkaca mundur ke belakang, stabilitas perdagangan dunia mulai mengalami disrupsi dan terus melandai semenjak tahun 2017 akibat tingginya tensi dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat yang menghambat perdagangan dunia.

Hal tersebut terkonfirmasi dari data World Trade volume (WTV) yang terus menurun dari tahun 2017 hingga titik kontraksi terdalamnya pada tahun 2020 akibat pandemi COVID-19.

Kala itu, banyak negara menutup pintu masuknya untuk memitigasi penularan COVID-19 lebih lanjut. Kini, volume perdagangan berisiko kembali mengalami tekanan akibat adanya konflik Rusia–Ukraina.

Pelajaran penting dari peristiwa tersebut adalah bagaimana setiap negara harus memperkuat ekonomi domestiknya karena lalu lintas perdagangan yang terganggu.

Beberapa waktu terakhir, ekonomi global dihadapkan pada permasalahan baru yakni gangguan rantai pasok yang bersumber dari permasalahan distribusi antarnegara dan kelangkaan barang input.

Adapun kendala distribusi tersebut tecermin dari backlog di banyak pelabuhan, langkanya kontainer, lebih lamanya waktu pengiriman, dan bahkan biaya pengapalan barang antarnegara yang mengalami kenaikan, khususnya sejak April 2021.

Permasalahan tersebut berdampak luas dan mengakibatkan berhentinya produksi di suatu negara akibat pasokan barang input produksi yang tidak mampu terpenuhi dengan baik.

Baca juga: Erick Thohir: Gasifikasi Batu Bara Beri Nilai Tambah untuk Perekonomian Nasional

 

Bahkan kini, konflik Rusia-Ukraina juga berisiko mengganggu pasokan input produksi global terutama mengingat besarnya kontribusi kedua negara tersebut dalam lansekap energi dan pangan dunia.

Penguatan Local Value Chain dan Momentum G20

Oleh karenanya penguatan Local Value Chain (LVC) bernilai tambah di Indonesia harus didorong mengingat adanya risiko deglobalisasi yang terus menghantui di tengah masih tingginya porsi impor bahan baku Indonesia.

Selain itu, penguatan LVC bernilai tambah juga bisa menjadi solusi dari belum optimalnya pemanfaatan potensi berlimpahnya SDA nasional.

Batu bara dan CPO yang merupakan komoditas penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia, sejauh ini sebagian besarnya hanya diekspor dalam bentuk raw material yang tidak bernilai tambah sehingga nilai riil ekonomisnya relatif lebih rendah dari nilai potensialnya.

Lebih lanjut, kedua komoditas tersebut bisa diolah lebih jauh untuk memenuhi kebutuhan input produksi dalam negeri yang selama ini sebagian besarnya dipenuhi melalui impor.

Contoh sederhananya adalah bagaimana upaya gasifikasi batu bara di Kalimantan yang kemudian bisa menjadi bahan baku produksi methanol, sehingga nantinya berpotensi mampu memenuhi kebutuhan methanol industri di Jawa yang notabene masih dipenuhi dari impor.

Selain itu, upaya hilirisasi CPO menjadi biodiesel kedepan mampu menjadi solusi dari tingginya ketergantungan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang notabene inputnya juga masih dipenuhi dari impor.

Pada tahap lanjut, penguatan LVC bernilai tambah tersebut juga mampu meningkatan kapabilitas manufaktur Indonesia dan diharapkan nantinya bisa menjadi salah satu katalisator visi Indonesia menuju negara maju di tahun 2045.

Merujuk pada success story beberapa negara maju, sektor manufaktur utamanya high-tech manufacturing yang bernilai tambah adalah kunci transformasi mereka menjadi negara maju.

Tentunya untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan setidaknya tiga strategi utama yakni perbaikan faktor produksi, dukungan regulasi, serta adanya promosi dan kerjasama perdagangan.

Ketiga strategi tadi tentunya juga harus didorong oleh iklim investasi yang positif dan berkelanjutan terutama dalam kaitannya dengan adaptasi teknologi mutakir.

Baca juga: Kominfo: Perhelatan G20 Bisa Buka Peluang Promosi untuk UMKM dan Pariwisata RI

Oleh karenanya, adanya momentum presidensi G20 Indonesia perlu dioptimalkan terutama untuk mendorong sustainable investment yang bisa mendorong penciptaan nilai tambah produk domestik.

Selain itu adanya momen strategis tersebut, juga bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mengambil posisi strategis dalam Global Value Chain (GVC) dunia dengan menjadikan produk manufaktur bernilai tambah tinggi hasil hilirisasi sebagai ‘value proposition’ Indonesia.

Pada akhirnya, penguatan LVC yang bernilai tambah di Indonesia tidak hanya bisa menjadi solusi dari adanya ancaman deglobalisasi, namun lebih dari pada itu mampu menjadikan dunia sebagai sebuah kekuatan ekonomi besar yang bisa menjadi pemain penting dalam konstelasi ekonomi dunia.

 

(*Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili instansi tempat penulis bekerja)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau