Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan Yuli Astuti, Merintis Muria Batik Kudus demi Melestarikan Batik Tulis

Kompas.com - 02/03/2024, 19:07 WIB
Ester Claudia Pricilia,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Yuli Astuti (40), pemilik Muria Batik Kudus, bisa dikatakan sangat berjasa untuk kelestarian batik Kudus.

Pada tahun 1930-an, batik Kudus berada pada masa kejayaannya. Banyak pengusaha sampai koperasi batik Indonesia di Kudus. Semua karya masterpiece batik dikoleksi pada saat itu.

Seiring berjalannya waktu, tahun 1970-an, batik Kudus hilang, karena generasi turunannya tidak ada yang mau melanjutkan.

Baca juga: Cerita Santoso Usaha Batik Lasem, dari Modal Rp 15 Juta Sukses Beromzet Ratusan Juta

Hal inilah yang membuat Yuli tertarik terjun ke dunia batik. Ia menyayangkan tak adanya generasi yang meneruskan batik Kudus.

Tahun 2005 ditemukan satu orang yang masih bisa membatik. Yuli memutuskan untuk menemui orang tersebut dan belajar darinya, termasuk soal motif-motif batik Kudus.

Salah satu motif batik Kudus yang terkenal adalah motif Kapal Kandas.

“Waktu itu saya heran mengapa motif itu terkenal, padahal Kudus kan bukan daerah perairan. Akhirnya saya menelusuri sampai setahun cerita mulut ke mulutnya, hingga menemukan orang tahu soal motif itu di Gunung Muria," jelas Yuli kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (28/2/2024).

"Akhirnya saya tahu, bahwa kapal kandas itu adalah kapal Dampo Awang yang kandas,” lanjutnya.

Tekad Yuli untuk menghidupkan kembali batik Kudus semakin kuat. Dengan modal seadanya, ia memutuskan merintis usaha batik dengan nama Muria Batik Kudus.

“Waktu mendirikan usaha enggak punya modal dan enggak dimodalin sama orangtua. Tapi kebetulan, saya juga jualan baju selain batik waktu itu. Jadi, saya harus jualan baju itu dulu biar punya modal untuk usaha batik. Pokoknya sekali ada modal, langsung jalan,” jelas Yuli.

Untuk mempelajari berbagai hal tentang batik, mulai dari motif, pewarnaan, desain, dan sebagainya, Yuli kerap bepergian ke Solo, Jogja, hingga Pekalongan.

Setelah belajar di kota-kota tersebut, Yuli mencoba mengeksplor sendiri, untuk menghasilkan batik yang berbeda dengan daerah lain, tetapi tetap memakai kearifan lokal.

"Salah satunya saya membuat motif buah parijoto. Buah seperti anggur ini, jika dimakan oleh ibu hamil, diyakini akan melahirkan anak yang rupawan," tutur Yuli.

Diakui Yuli, dalam menentukan motif batik, dirinya membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan riset, termasuk mengunjungi tokoh-tokoh folklor untuk memahami sejarahnya.

"Motif klasik kuno membutuhkan waktu paling lama, karena saya harus menggali sejarah, budaya, dan kearifan lokalnya," ujarnya.

Baca juga: Cerita Siswa SMA IAS Al- Jannah Merintis Bisnis Batik Ramah Lingkungan Anagata

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau