TIDAK dapat disangkal bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia.
Dengan jumlah lebih dari 60 juta unit usaha dan menyerap lebih dari 97 persen tenaga kerja, posisi UMKM sangatlah vital dan menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Ketika Indonesia dilanda turbulensi ekonomi, UMKM selalu tampil terdepan menjadi bumper dan penyelamat ekonomi masyarakat.
Ketika terjadi krisis ekonomi, UMKM selalu menjadi penopang sehingga ekonomi masyarakat tidak jatuh ke dalam lubang krisis yang lebih dalam.
Pada krisis tahun 1998/1998 dan 2008, UMKM mampu tampil menjadi pahlawan perekonomian. UMKM sanggup menyerap para tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan terlempar dari sektor industri dan sektor formal.
Pada krisis tahun 2020 akibat pandemi Covid-19, walaupun tidak mampu menjadi pahlawan sebagaimana pada krisis 1997/1998 dan 2008, UMKM mampu menjadi salah satu sektor usaha yang mengalami pemulihan paling cepat.
Namun sayangnya, status sebagai pahlawan serta perannya yang sangat vital dalam perekonomian nasional, tidak serta serta menjadikan UMKM sebagai target utama pembangunan ekonomi nasional.
Bahkan UMKM terkesan “diternakan” dan dipeliharan supaya tetap ada dan bertambah banyak. Sampai saat ini hampir tidak ada pelaku UMKM yang naik kelas menjadi usaha besar atau hanya menjadi kelas menengah dari yang awalnya kelas mikro dan kecil.
Supaya UMKM naik kelas, maka diperlukan kebijakan afirmasi dari pemerintah dan dukungan dari semua stakeholder. Kebijakan dan bantuan yang dibuat harus menyeluruh menyentuh semua aspek, tidak parsial dan “setengah-setengah”.
Selama ini, UMKM harus menghadapi permasalahan dari dua sisi sekaligus. Permasalahan pertama berkaitan dengan permasalahan internal di dalam operasional UMKM dan permasalahan kedua berasal dari lingkungan eksternal.
Namun tidak jarang, kedua sisi permasalahan tersebut saling beririsan dan bersinggungan serta berkorelasi satu sama lainnya.
Dari sisi internal, UMKM saat ini masih harus berkutat dengan berbagai keterbatasan, mulai dari keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), akses terhadap pasar, dan akses terhadap permodalan. Keterbatasan kualitas SDM menjadikan kinerja sebagian UMKM tidak efisien.
Beberapa UMKM dikelola dengan prinsip kekeluargaan sehingga manajemen dan pengelolaan UMKM tidak optimal.
Proses produksi dan pembagian kerja tidak diatur secara profesional sehingga produk yang dihasilkan tidak jarang kurang kompetitif.
Keterbatasan SDM juga tidak jarang menyebabkan proses pencatatan keuangan tidak tersedia dengan lengkap dan baik sehingga arus keluar masuk kas tidak terukur dengan jelas.
Keterbatasan akses terhadap pasar juga menjadi permasalahan yang belum terpecahkan secara tuntas.
Perkembangan teknologi digital yang saat ini terjadi secara masif telah membantu sebagian UMKM. Namun sebagian lain malah berguguran akibat tidak mampu memanfaatkan perkembangan teknologi dengan baik.
UMKM yang dijalankan oleh generasi baby boomer dan generasi X sering kali kesulitan untuk menggunakan teknologi digital dan pada akhirnya tidak sedikit yang usahanya gulung tikar dan tergantikan oleh usaha-usaha rintisan (start-up).
UMKM yang beroperasi di wilayah-wilayah blank spot sinyal juga mengalami kesulitan yang tidak kalah besar.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya