Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjuangan Tiga Perempuan Tangguh Merawat Dedang Tenun Puncatiti di Pelosok NTT

Kompas.com - 14/03/2023, 21:00 WIB
Markus Makur,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi

Regina menjelaskan, khusus untuk Kampung Wangkar, ada 100 mama yang bisa menenun kain tenun puncatiti. Dan mama-mama di delapan desa di Kecamatan Congkar bisa menenun kain tenun puncatiti.

Petronela Evi di sela-sela dedang kain tenun puncatiti kepada KOMPAS.com sore itu menjelaskan, menenun merupakan kerja sampingan kaum perempuan tatkala ada waktu kosong.

"Kerja pokok kaum perempuan bekerja di kebun dan sawah bersama suami. Kalau ada orang pesan, saya baru menenun kain tenun puncatiti. Biasanya tempat dedang itu di dalam rumah dan di antara rumah dapur dan rumah induk," kata Petronela.

Petronela menjelaskan, zaman dulu, sebagaimana ia dengar bahwa empat kain tenun puncatiti bisa ditukar dengan seekor kuda untuk keperluan adat istiadat. Selain itu, kain tenun puncatiti bisa tukar dengan sebidang tanah.

"Kain tenun puncatiti di zaman dulu bahannya dari olahan kapas sehingga tidak luntur saat dicuci, beda dengan bahan benang yang beli di toko, kainnya bisa luntur saat dicuci," jelas Petronela.

Petronela mengatakan, harga jual kain tenun puncatiti tidak sesuai proses dedang yang membutuhkan waktu lama dengan bahan benang yang beli di toko atau kios yang ada di kampung.

"Orang Congkar menyebut tenun itu dengan nama lokalnya, Nae. Nae puncatiti biasa disebutkan. Kalau orang bertanya kepada saya saat saya sedang dedang. Saya menjawabnya dedang Nae puncatiti. Menenun juga untuk menghormati dan menghargai warisan leluhur orang Congkar khusus leluhur perempuan," jelas Petronela.

Baca juga: UMKM NTT Berpeluang jadi Eksportir Kopi

Petronela menjelaskan, dalam bahasa lokal orang Congkar, peralatan dedang, diantaranya, benang, baluk, mongko peteko, lika, helung, mongko titi, mongko humtiti, mongko hum adak.

Mongko hum adak merupakan penentu kain tenun puncatiti yang berada dibagian tengah. Ada juga bampang, mongko rendak, jangka, pesa dan lihur.

Pelatihan Sejak Dini dan Kesulitan Pemasaran

Anastasia, Regina dan Petronela berharap lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas melatih siswi di lembaga pendidikan yang ada di Kecamatan Congkar untuk menenun kain tenun puncatiti supaya warisan ini terus menerus berlanjut bagi generasi berikutnya.

"Kami sangat kuatir dengan usia kami saat ini bahwa suatu saat kain tenun puncatiti hilang. Apalagi anak gadis masih belajar di sekolah yang jauh dari kampung Wangkar," harapan mereka.

Baca juga: Pulihkan UMKM Tenun NTT, Bank Indonesia Gelar Exotic Tenun Fest

Kepala Desa Ranamese, Kecamatan Congkar, Siprianus Wensimus, saat dihubungi Kompas.com melalui pesan Whatsapp pada Selasa, (14/3/2023) menjelaskan kerajinan tangan khususnya menenun kain tenun puncatiti yang dilakukan kaum perempuan dapat mendukung ekonomi keluarga.

Ibu-ibu yang punya keterampilan menenun dapat menghasilkan kain tenun.

"Setiap hari kaum perempuan selalu menenun kain puncatiti, dengan nilai jual 500.000- 600.000 per satu lembar kain tersebut. Ada yang sebulan menghasilkan tiga lembar kain tenun dan ada juga yang dua lembar kain tenun puncatiti," jelas Siprianus.

Anastasia, Regina dan Petronela mengaku bahwa mereka kesulitan memasarkan hasil karya mereka. Sebab, pemasaran dilakukan sendiri-sendiri. Selain itu menunggu orang pesan dari Kota Labuan Bajo, Borong dan Ruteng.

"Kalau ada orang pesan, kami menenun kain tenun puncatiti. Kalau tidak yang pesan, kami kerja di kebun dan sawah. Selain itu, pembelinya juga sesama orang Congkar saat ada urusan adat istiadat," jelas mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau