JAKARTA, KOMPAS.com – “Silakan dilihat,” ujar Elis Juarsih (47) seraya mempersilahkan calon pembelinya masuk. Dengan penuh senyum dan tutur kata yang halus, Elis menjelaskan dan menunjukkan aneka produk hasil rajutan. Semangat Elis tak goyah meski dirinya kesulitan berdiri.
Kedua tangan Elis memegang tongkat sebagai alat bantu berdiri. Perlahan, Elis berpindah posisi sambil menerangkan produk yang ia jual. Suaranya yang kecil masih tampak jelas terdengar.
Tak jauh dari Elis, Irma Suryati (48) duduk di kursi. Di depannya, ada tumpukan keset berbahan perca. Di samping Irma, ada tas-tas berbahan karung goni yang tergantung.
“Harganya Rp150.000. Sudah murah,” jelas Irma sambil tersenyum saat calon pembeli yang tertarik dengan tas goni produksinya. Suasana tawar menawar yang hangat berujung transaksi pun terjadi.
Baca juga: Sadar Limbah Plastik, UKM Binaan Pertamina Manfaatkan Sampah jadi Produk
Elis dan Irma adalah sejumlah pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) penyandang disabilitas yang diajak berpartisipasi oleh Pertamina dalam pameran Pertamina Small Medium Enteprise Expo (SMEXPO) 2023 di Mal Gandaria City, Kebayoran Lama, Jakarta. Mereka mendapatkan stan untuk mempromosikan produk yang diproduksi oleh kelompok penyandang disabilitas.
Elis merupakan seorang tuna daksa asal Kampung Binong, Batununggal, Kota Bandung, Jawa Barat yang punya keahlian merajut dan tergabung dalam komunitas Merajut Asa Kita. Elis mengalami kelumpuhan akibat jatuh dari tangga di rumahnya sejak umur dua tahun. Hidup dalam keterbatasan diakuinya penuh tantangan.
Perundungan dan diskriminasi adalah konsumsinya sejak ia kecil. Perundungan di lingkungan tempatnya tinggal pun ia alami.
“Jadi bukan orang lain. Malah tetangga sendiri, misalnya habis saya lewat, (jalan yang habis saya lewati) disiram air sama tetangga,” ujar Elis saat ditemui KOMPAS.com di sela-sela acara Pertamina SMEXPO 2023.
Sulitnya akses transportasi dan pendidikan yang inklusif pun ia rasakan. Elis pun hanya lulus SD. Lebih dari 15 tahun, Elis banyak menghabiskan hidupnya untuk berobat ke sana ke mari demi kesembuhannya.
Namun, semangat Elis terus berkobar. Ia bukan individu yang ingin dikasihani. Kepada orangtuanya pun, Elis tegas. Ia tak ingin lagi menjalani terapi dan menjalani hidupnya yang berstatus penyandang disabilitas.
“Saya mulai merajut dari umur 17 tahun. Saya tertarik merajut untuk menghilangkan jenuh di rumah. Kan sampai umur 22 tahun, saya terapi-terapi terus. Saya lelah,” kata Elis yang sempat bercita-cita menjadi seorang dokter itu.
“Sebenarnya saya sudah menerima ikhlas. Saya tak merasa kekurangan. Hanya orang-orang di sekeliling memperlakukan saya seorang disabilitas. Sebenarnya saya bisa melakukan semua hal sendiri, mandi, masak, mencuci baju sendiri. Ibu saya tak pernah memperlakukan saya seorang disabilitas. Saya diajarkan ibu saya untuk mandiri sejak kecil,” ujar Elis.
Baca juga: Pertamina Kembali Gelar Pameran UMKM SMEXPO di 4 Kota, Catat Tanggalnya!
Kisah Elis pun dirasakan Irma. Sebagai seorang tuna daksa, Irma sedikit lebih beruntung lantaran bisa menyelesaikan pendidikan sampai tingkat sekolah menengah atas (SMA). Namun, kesempatan untuk bisa bekerja selayaknya lulusan-lulusan SMA lain tak ia dapatkan.
“Saya kan penyandang disabiltas awalnya (mulai bikin usaha) itu karena melamar kerja selalu ditolak. Saya sampai bosan 15 kali melamar selalu ditolak. Daripada saya selalu ditolak saat melamar kerja, lebih baik saya ciptakan lapangan kerja,” ujar Irma.
Irma pun mengalami kelumpuhan setelah jatuh di kamar mandi. Saat itu, Irma bersama orangtuanya menjadi transmigran dan bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan. Irma diketahui terserang penyakit polio.
Nasib ditolak melamar kerja pun mengubah hidup Irma. Ia memutar otak dan memutuskan untuk merintis usaha keset dari kain perca. Dari Semarang hingga hijrah ke Kebumen tepatnya di Desa Karangsari, Kecamatan Buayan, kisah sukses Irma dimulai.
Elis dan Irma satu suara soal perjuangan para penyandang disabilitas. Kesetaraan adalah kunci untuk para penyandang disabilitas untuk maju dan berdaya. Di sisi lain, menurut Elis dan Irma para penyandang disabilitas juga perlu punya semangat untuk meningkatkan taraf hidup.
Perjuangan Elis dan Irma terukir dalam sejarah hidupnya. Elis memulai hidup sebagai perajut kain, sedangkan Irma memutuskan untuk menjadi social entreprenurship. Mereka juga sama-sama aktif memperjuangkan nasib para penyandang disabilitas.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya