KOMPAS.com - Jika Anda berencana ke Swiss dan punya itinerary berkeliling negara tersebut, cobalah nanti sesekali bertanya kepada warga di sana, di manakah tempat tinggal para orang kaya?
Hampir bisa dipastikan mereka akan menjawab menjawab, “Orang-orang kaya banyak tinggal di desa. Yang tinggal di kota hanyalah para pekerja.”
Memang tidak ada yang salah dengan jawaban tersebut. Perekonomian Swiss yang selama ini banyak disokong oleh jasa finansial dan manufaktur, pada dasarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sektor pertanian dan peternakan.
Sektor pertanian dan peternakan di Swiss memiliki peran besar terhadap ekonomi di negara yang berada di Eropa tersebut. Banyak korporasi yang bergerak di sektor food and beverages yang beroperasi hingga skala global dengan mengambil bahan baku dari para pemasok di perdesaan.
Baca juga: Manfaatkan Potensi Desa, Kades di Sulsel Ini Berhasil Jual 500 Kg Gula Aren Sebulan
Tak hanya hasil pertanian, Swiss juga sudah lama terkenal dengan keindahan alamnya. Gunung-gunung dengan puncak yang ber salju, air terjun beserta hamparan padang rumput, di mana sapi-sapi bebas berkeliaran menjadi pemandangan yang jamak ditemui di setiap jengkal perdesaan Swiss.
Inilah yang membuat banyak wisatawan berdatangan ke Swiss. Mereka ingin menikmati suasana yang tenang dan indahnya pemandangan yang mungkin tidak bisa ditemui di negara lain.
Hal ini pula yang mendorong bisnis akomodasi dan hospitality tumbuh subur di berbagai tempat di kawasan perdesaan Swiss. Hotel, restoran, hingga resort yang ada di perdesaan pun ikut menyumbang ekonomi negara ini.
Karenanya, tidak salah jika perdesaan di Swiss adalah kawasan yang menjadi tempat tinggal orang-orang kaya. Tak hanya aset berupa tanah dan peternakan, industri pariwisata bergerak dan uang yang berputar di perdesaan pun tidak sedikit.
Sejenak kita lupakan Swiss dan sekarang beranjak ke Indonesia. Mengutip data BPS yang dirilis Maret 2023, secara persentase, penduduk miskin di perdesaan Indonesia lebih tinggi ketimbang perkotaan.
Secara persentase, penduduk miskin di desa mencapai 12,22 persen, sedangkan di kota 7,29 persen. Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di perdesaan juga lebih tinggi daripada perkotaan.
Tanpa melihat data BPS pun, sebenarnya kita sudah bisa membuat kesimpulan tentang bagaimana kondisi sosial dan ekonomi di kawasan perdesaan Indonesia.
Tidak bermaksud membanding-bandingkan sesuatu yang mungkin tidak apple to apple, karena Swiss adalah negara maju sedangkan Indonesia negara berkembang. Namun memang begitulah kenyataannya, bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan desa di Indonesia menjadi “sarang” kemiskinan.
Baca juga: Geliat Desa Srowo di Gresik menuju Kampung UMKM Kerupuk Ikan
Salah satu penyebabnya adalah karena keterbatasan akses pelayanan publik serta menghadapi persoalan akses terhadap layanan finansial.
Berbagai keterbatasan tersebut pada akhirnya turut berdampak terhadap minimnya pemanfaatan potensi desa. Belum lagi, SDM yang ada di desa juga kurang memadai untuk bisa mengutilisasi potensi yang ada.
Ya, foto-foto itu diambil dari sebuah telaga yang bernama Umbul Ponggok, yang berada di Desa Ponggok, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Rasanya belum liburan jika belum mengambil foto di tempat ini.
Dari aktivitas wisata itulah, Desa Ponggok ketika itu bisa meraup pendapatan antara Rp 8 miliar hingga Rp 9 miliar per tahun melalui BUMDes, hingga menjadikan warga desa ini terangkat perekonomiannya.
Keberhasilan Desa Ponggok menjadi desa wisata seolah membuka mata banyak pihak, bahwa desa tak selamanya menjadi pusat kemiskinan. Jika potensi yang ada digarap dengan baik, tidak mustahil perekonomian masyarakat desa akan terangkat.
Hal ini pula yang menginspirasi desa-desa lain di Indonesia untuk bergerak mencari potensi yang dimiliki. Tak sedikit desa-desa di Indonesia mengukuhkan diri sebagai desa wisata dengan berbagai atraksi khas yang disuguhkan.
Sementara desa-desa lainnya memilih menjadi desa yang mengkhususkan diri pada produksi produk serta komoditas tertentu yang menjadi andalannya. Perlahan-lahan, perubahan mulai bergulir di perdesaan Indonesia.
Memiliki luas 165 hektare (ha) dengan 92 ha di antaranya merupakan lahan pertanian produktif, Desa Megulung Kidul juga memiliki potensi perkebunan kelapa, pisang, dan anggur.
Semua potensi tersebut dikemas dengan konsep agrowisata, panorama alam, pertanian kuliner, dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang beroperasi sejak 2020. Banyak wisatawan yang datang ke daerah ini untuk sekedar menikmati keindahan desa serta mencicipi suguhan kulinernya.
Meski sempat terdampak pandemi, keberhasilan Desa Megulung Kidul tersebut mengantarkan desa ini menjadi pemenang BRIlian 2022, sebuah ajang bergengsi yang diselenggarakan oleh BRI untuk mengapresiasi desa-desa yang berhasil melakukan transformasi ekonomi.
Baca juga: Melihat Desa Pakem, Berdaya Lewat Budidaya Melon Berkat Dana Desa
Transformasi juga ditemukan di desa-desa lainnya, salah satunya adalah di Karawang Jawa Barat. Di wilayah ini ada dua desa yang berhasil melakukan transformasi, salah satunya adalah adalah Desa Mekarbuana.
Terletak sekitar 42 kilometer dari pusat Kota Karawang, kontur tanah yang berupa perbukitan menjadikan penduduk desa ini tidak memungkinkan untuk bertani.
Namun, mereka tidak patah arang. Justru di balik keterbatasan itu, Desa Mekarbuana memiliki potensi besar untuk menjadi destinasi wisata, sehingga desa ini lebih dikenal sebagai desa agro-ecowisata.
Keberhasilan desa ini menjadi desa agro-ecowisata menarik BRI untuk terlibat lebih jauh mendampingi Desa Mekarbuana. Bahkan dari pendampingan tersebut, kini perkembangan desa ini jauh lebih pesat dari waktu-waktu sebelumnya.
Seperti halnya BRI, bank BUMN ini cukup serius untuk turut mengawal desa-desa yang ada di Indonesia menjadi pusat pertumbuhan baru ekonomi, dan telah menjadi mitra berbagai desa dalam melakukan transformasi.
Dengan tetap mempertahankan ciri khas desa sebagai tempat kegiatan pertanian dan produksi skala UMKM, akan menjadikan kawasan memiliki nilai tambah, sekaligus solusi atas berbagai persoalan yang terjadi.
Baca juga: BRI Lakukan Pendekatan Hybrid untuk Dorong Perkembangan UMKM
Salah satunya adalah solusi atas persoalan urbanisasi yang belakangan semakin kentara karena pertumbuhan banyak berpusat di perkotaan. Hal lainnya adalah terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang bersih, karena perekonomian yang berputar di desa berbasis pada lingkungan dan sosial.
Karenanya, mewujudkan desa-desa di Indonesia menjadi seperti perdesaan di Swiss bukan lagi sebuah mimpi ketika semua pihak memiliki komitmen dan kemauan untuk mewujudkannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.