JAKARTA, KOMPAS.com – Daerah produsen beras tidak selamanya terbebas dari ancaman rawan pangan. Demikian pula dengan Desa Tanjung, Kecamatan Banyusari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Memasuki Desa Tanjung, mata akan disapa dengan hijaunya hamparan sawah. Petani hilir mudik di jalan-jalan desa yang tidak terlalu luas sambil mambawa alat pertanian.
Namun siapa sangka, desa yang menjadi tumpuan banyak orang karena sebagai pemasok beras ini, justru masuk kategori desa miskin dan desa rawan pangan pada tahun 2017. Karena predikat tersebut, pemerintah mendorong para warga di Desa Tanjung untuk mulai menjalankan usaha.
Baca juga: Hadapi Toko Ritel Modern, Pemilik Toko Kelontong Ini Terapkan Strategi Jitu
Tujuan mengembangkan wirausaha ini adalah untuk turut memberdayakan ekonomi. Uang yang berputar diharapkan bisa memberikan nilai tambah bagi perekonomian desa.
Dari sekian pelaku UMKM yang muncul di Desa Tanjung, ada nama Jubaedah sebagai salah satu pelaku usaha yang turut hadir guna membantu mendorong perekonomian warga desa.
Berbeda dari pelaku usaha lainnya, Jubaedah menjalankan usaha tak semata untuk memperoleh keuntungan, namun juga turut memberdayakan perempuan, terutama mereka yang berstatus janda dan masuk usia senja.
“Saya merekrut janda-janda lansia yang sudah tidak mampu bekerja di luar desa. Dengan bekerja, mereka tak lagi tergantung pada anak maupun saudaranya untuk bisa dapat uang,” kata Zubaedah, Kamis (21/3/2024).
Total ada 13 karyawan yang hampir seluruhnya adalah janda lanjut usia. Dengan bantuan para karyawannya itu, Jubaedah setiap hari memproduksi kerupuk yang diracik dari bahan tapioka serta dicampur dengan kencur dan bahan-bahan lainnya.
Bahan-bahan yang dicampurkan tersebut diperoleh dari pekarangan sekitar rumahnya. Dan, kerupuk tersebut diberi brand “Kerupuk Miskin”.
Nama “Kerupuk Miskin” dipakai karena dia terinspirasi dari daerahnya yang pernah masuk kategori desa miskin.
Baca juga: PNM Mekaar Salurkan Pinjaman Rp 4,3 Triliun ke UMKM di Bekasi
Rata-rata para karyawan yang dipekerjakan Jubaedah adalah para wanita yang berusia di atas 55 tahun. Tentu pada usia itu, kondisi fisik mereka sudah tidak sebugar dari waktu-waktu sebelumnya.
Jubaedah mengungkapkan, sering para karyawan yang bekerja merasa tidak sehat. Di lain hari, mereka juga tidak memungkinkan bekerja maksimal karena penyakit sedang kambuh.
Dari situ, dia menyadari bahwa memaksa para karyawan bekerja sesuai target, bukanlah sebuah tindakan yang bijak. Karena itu, dia tidak terlalu menargetkan karyawan untuk bekerja dengan target tertentu.
Meski demikian, setidaknya dalam sehari para janda lansia tersebut mampu memproduksi kerupuk miskin hingga 21 kg.
“Saya selalu lihat kondisi para janda. Kalau mereka sanggup ya oke, tapi kalau sedang sakit ya disesuaikan. Tapi paling tidak mereka kuat untuk memproduksi hingga 21 kg dalam sehari. Dan jumlah ini yang selalu terjual,” ujarnya.
Selain produksi yang tidak ada target, wanita yang kerap dipanggil Mak Edah ini tidak menerapkan sistem gaji tetap terhadap para karyawannya, sebagaimana yang dilakukan pemilik usaha pada umumnya. Sistem yang diambil adalah bagi hasil.
Setiap kilogram kerupuk yang terjual, rata-rata keuntungan yang diperoleh adalah Rp 10.000. Semakin besar produksi, semakin banyak margin yang didapat.
Namun pada waktu-waktu tertentu, keuntungan tersebut menyusut karena harga bahan baku yang melonjak. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa waktu lalu ketika harga tapioka naik signifikan, keuntungan yang dia peroleh juga tergerus.
“Keuntungan bisa naik dan turun, tergantung dari harga bahan baku. Tapi rata-rata dalam setiap kilogram saya bisa mendapatkan keuntungan Rp 10.000.
Baca juga: Indeks Digitalisasi UMKM dari Bank BRI Dinilai jadi Tolak Ukur Pengembangan UMKM
Keuntungan yang didapat akan dibagi rata dengan para pekerja yang terlibat dalam produksi kerupuk. Sementara pekerja yang mendapat bagian pekerjaan lain, perhitungannya akan disesuaikan.
Uang bagi hasil tersebut selalu diberikan setiap hari, karena para janda lansia tersebut selalu mengandalkan pendapatan tersebut untuk menutup kebutuhan hariannya.
Salah satu momen yang paling dia ingat adalah saat pandemi tahun 2021. Saat itu dia membutuhkan tambahan modal usaha agar produksi kerupuk bisa tetap survive. Beberapa kali mengajukan pinjaman tidak berhasil karena usaha yang dijalankan dinilai kurang layak diberi kredit.
Di tengah kesulitan yang dia hadapi, dia kedatangan petugas dari PT Permodalan Madani, yang menjadi bagian dari Holding Ultramikro yang dipimpin oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI).
“Saat itu saya dapat pinjaman Rp 3 juta. Saya cicil 20-30 kali dan lunas. Sekarang saya juga masih menjadi nasabah PNM karena prosesnya mudah dan cepat, tanpa sulit. Yang penting ada usaha dan setoran lancar,” ungkapnya.
Karena cicilan lancar, kini Jubaedah bisa mendapatkan fasilitas pinjaman hingga Rp 9 juta, yang dia gunakan untuk membantu berjalannya proses produksi kerupuk serta usaha lainnya yakni jamu tradisional.
Baca juga: Dongkrak Rasio Wirausaha, KemenKopUKM dan BRI Hadirkan Growthpreneur
Bantuan yang diterima Jubaedah tak hanya fasilitas pinjaman. Dia juga dibantu untuk pengurusan sertifikat halal serta sertifikat lainnya yang dibutuhkan UMKM.
Bahkan atas kegigihannya dalam berbisnis serta merangkul para lansia, kerupuk miskin yang diproduksi turut dihadirkan pada acara silaturahmi bersama Presiden Joko Widodo di Bekasi pada beberapa waktu lalu.
“Kerupuk Miskin yang saya produksi bahkan dipromosikan langsung oleh Bapak Presiden saat acara di Bekasi,” kata Mak Edah.
Holding Ultramikro yang dipimpin oleh BRI berkomitmen untuk melayani masyarakat yang selama ini belum punya akses ke layanan keuangan formal (unbankable). Saat ini, jumlah masyaraat yang telah dilayani oleh Holding Ultramikro terus meningkat.
Direktur Utama PT Permodalan Nasional Madani, Arief Mulyadi, menyatakan hingga saat ini jumlah total nasabah perseroan mencapai 15,2 juta orang. Dari jumlah tersebutsebanyak 13,7 juta nasabah telah memiliki tabungan Simpedes UMi dengan rata-rata saldo Rp 100.000 hingga Rp 200.000.
“PNM tidak hanya memberikan modal usaha kepada para ibu-ibu, tetapi juga memberikan dukungan dalam hal ekspor dengan memberikan fasilitas Nomor Induk Berusaha (NIB) sebanyak 1,2 juta kepada mereka. NIB tersebut menjadi landasan bagi nasabah untuk masuk ke dalam usaha formal,” kata Arief.
Hingga akhir 2023, total pembiayaan yang telah disalurkan PNM mencapai Rp 62,4 triliun, dan tahun ini ditargetkan bisa mencapai Rp 75 triliun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.