JAKARTA, KOMPAS.com - Komoditas kakao berpotensi menjadi salah satu sumber ekonomi baru di Indonesia seiring dengan turunnya pasokan kakao dunia.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki mengatakan saat ini biji kakao sebagai bahan utama cokelat sedang menghadapi tantangan serius akibat penurunan pasokan dari Afrika.
Kekurangan pasokan biji kakao dunia ini menyebabkan kenaikan harga biji cokelat global. Di sisi lain, industri fine flavour cocoa sedang berkembang di Indonesia dan dunia, dengan mayoritas pelaku industri adalah UMKM.
Baca juga: Luhut: RI Butuh 800 Juta Bibit Kakao, Saat Ini Baru Tersedia 2 Juta
“Kita punya potensi besar dari kakao karena sebelumnya kita hanya menjual bahan baku mentahnya, tetapi karena hilirisasi yang dilakukan Pipiltin maka bisa menciptakan produk baru," kata Teten beberapa waktu lalu.
Untuk menghadapi tantangan ini, Teten mendorong koperasi yang menaungi petani kakao perlu melakukan konsolidasi dengan membentuk holding antar koperasi yang memiliki fokus bisnis yang sama. Dengan cara ini maka persoalan fluktuasi harga yang tinggi dapat teratasi.
Strategi ini juga disebut akan mempermudah untuk mendapatkan dukungan pembiayaan dari lembaga pembiayaan, baik bank, Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) KUMKM, security crowdfunding, maupun Bursa Efek Indonesia (BEI).
Baca juga: Cokelat Omah Kakao Doga Andalkan Digital Marketing untuk Tingkatkan Penjualan
Hal lain yang juga perlu ditempuh adalah dengan melalui hilirisasi kakao, yakni dengan mengolah biji kakao menjadi produk bernilai tinggi. Hal ini bisa menjadi sumber ekonomi baru, terlebih Indonesia merupakan salah satu produsen utama kakao di dunia.
Saat ini, salah satu pelaku usaha yang telah melaksanakan hilirisasi kakao adalah PT Rosso Bianco, pemilik Pipiltin Cocoa yang berlokasi di Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.
Seiring dengan strategi tersebut, Pipiltin sukses melakukan hilirisasi biji kakao menjadi cokelat yang siap mengisi pasar domestik dan ekspor.
Baca juga: Pecah Rekor, Harga Kakao Naik Dua Kali Lipat sejak Awal Tahun
Pada kesempatan yang sama, Co-founder Pipiltin Cocoa Irvan Helmi mengatakan, di tengah mahalnya harga biji kakao, perusahaanya tetap mampu melakukan ekspansi dengan mendirikan pabrik kedua di atas lahan seluas 1.000 meter persegi dengan kapasitas produksi 240 kg per jam.
"Pabrik pertama kami di Jakarta Selatan dan sekarang ini pabrik kedua. Ini menjadi milestone yang berharga bagi kami dan Indonesia sebagai keluarga besar dengan membuka pabrik baru," kata Irvan.
Irvan mengapresiasi dukungan khususnya para petani kakao yang tetap konsisten mendukung penyediaan bahan baku cokelat.
Sementara itu, Direktur Yayasan Kalimajari Agung Widiastuti bersyukur dapat bermitra dengan Pipiltin Cocoa karena petani kakao yang bernaung di bawah koperasi yang dipimpinnya kini bisa menikmati harga jual kakao yang lebih tinggi.
Baca juga: Indonesia Turun ke Peringkat 6 Penghasil Kakao Terbesar Dunia, Mengapa?
Sejak 2014 koperasinya bermitra dengan Pipiltin para petani kakao di Bali konsisten mendapat harga jual yang layak meski di saat harga kakao anjlok. Ini terjadi karena Koperasi Kakao Kerta Semaya Samaniya secara rutin menjadi offtaker bagi hasil panen kakao para petani.
“Pada 2010-2011 para petani kami sulit menemukan mitra yang ideal yang mau menghargai hasil jerih payah petani. Alhamdulillah kami bersyukur dipertemukan Pipiltin yang kami anggap bukan hanya sebagai pembeli saja tapi mitra yang ikut berperan dalam peningkatan kapasitas petani kakao kami," kata Agung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.