JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah serbuan kulit imitasi atau barang KW, keberadaan para perajin kulit asli masih tetap bertahan dan berkembang.
Di luar produk sepatu, ada beragam produk yang mereka buat, seperti tas laptop, tas punggung, dompet, gantungan kunci, ikat pinggang, dan lain-lain.
Di Yogyakarta, seorang perajin kulit asal Yogyakarta, Dwi Kuncoro tetap konsisten untuk menjaga kualitas produknya dengan menggunakan bahan baku kulit untuk produk-produk yang dihasilkan.
Baca juga: Pemerintah Libatkan Pelaku UKM dalam Konversi Motor Listrik
Dwi Kuncoro merupakan pemilik usaha Kuncoro Leather yang bergerak di sektor pengolahan kulit dan aksesoris dengan bahan baku kulit olahan. Barang-barang yang diproduksi meliputi ikat pinggang, dompet, hingga tas.
Yogyakarta sudah pasti menjadi pasar utamanya. Di luar itu, barang-barang produksi Kuncoro Leather juga dijual ke berbagai daerah. Bahkan memasuki sentra-sentra yang menjadi basis produksi kerajinan kulit seperti halnya Garut, Tanggulangin Sidoarjo, serta Magetan.
"Saya menempuh strategi menjual ke sentra-sentra kulit dan saya berani melakukan itu. Istilahnya, ini strategi menjual minyak ke negara-negara Timur Tengah," ujar dia sambil terkekeh mengawali pembicaraan dengan Kompas.com, Kamis (10/2/2021).
Bisnis yang dijalankan Kuncoro tidak serta merta dijalankan begitu saja. Sebelumnya, dia memang sudah banyak bergelut dalam pengolahan kulit dan produksi kerajinan kulit.
Dia menceritakan awal berbisnis kulit olahan tidak lepas dari orang tua Kuncoro yang memperkenalkan mengenai cara mengolah kulit untuk dijadikan kerajinan. Tahun 1992, dia mulai mencoba untuk membuat kerajinan dari kulit olahan.
Saat itu dia masih duduk di bangku SMIK. Produk pertama yang dia buat adalah ikat pinggang. Dengan memanfaatkan limbah kulit dari pabrik, dia membuat aksesoris tersebut untuk dijual ke para pedagang di Malioboro.
Produk yang dibuat ternyata laris karena setiap wisatawan yang datang ke Malioboro selalu mencari souvenir yang bisa dibawa pulang. Salah satu jenis souvenir tersebut adalah ikat pinggang.
Baca juga: Kembangkan Potensi Industri Fesyen dan Halal, BSI Gelar Hijab Market Indonesia
"Saya seminggu bekerja satu hari dan bisa menghasilkan 30 ikat pinggang. Dari kerja satu hari itu, uangnya bisa saya pakai untuk seminggu. Setelah itu saya kerja lagi. Begitu terus," kata dia.
Dalam perjalanannya, Kuncoro tak hanya membuat ikat pinggang. Dia merambah ke jenis kerajinan lain seperti halnya dompet dan tas.
Bisnis terus berkembang. Bahkan ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi tahun 1998, bisnis yang dijalankan Kuncoro justru berkembang pesat. Hingga pada tahun 2000 dia memilih untuk membeli mesin produksi.
"Saya kemudian menikah tahun 2003. Ketika itu saya berpikir bagaimana agar usaha ini bisa menghidupi keluarga.
Dari situ, Kuncoro makin giat mengembangkan usaha. Pemasaran diperluas dan produk-produk baru dikembangkan dengan mengikuti trend.