BATU, KOMPAS.com - Nama Siti Mutdrika (41) sudah tidak asing lagi oleh kalangan para pelaku kerajinan tangan ecoprint. Pahit manis menjadi pengusaha pernah dilewatinya sebelum sukses memiliki 1.500 anggota di seluruh Indonesia.
Siti bergelut dalam dunia ecoprint sejak 2018. Ketertarikannya menjalani usaha tersebut karena dinilainya menawarkan bentuk kerajinan tangan yang tergolong baru dan memiliki potensi pangsa pasar luas.
Baca juga: 5 Alasan Kamu Harus Membuat Business Plan
Sebagai informasi, ecoprint merupakan teknik mencetak dengan bahan alami seperti daun yang pada umumnya banyak diaplikasikan pada kain. Namun, di tangan Siti, metode tersebut juga bisa diaplikasikan pada beragam produk fashion seperti baju, jaket, kemeja, tas kulit, sepatu, keramik dan lainnya.
"Awalnya saya memiliki Sanggar Kreasi Mamalya, sebelumnya sudah fokus kerajinan tangan, seperti sospeso, bunga stoking, batik sibori dan lainnya. Tetapi kami ingin tetap kreasi dan juga inovasi, pada 2018 memulai dengan ecoprint," kata Siti pada Senin (20/3/2023) saat ditemui dalam sela-sela kegiatan di Kota Batu, Jawa Timur.
Siti sehari-hari memproduksi karya-karyanya di rumahnya yang berada di Perumahan Griya Dewata, Kelurahan Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.
Wanita yang juga anggota Persatuan Istri Tentara (Persit) itu dibantu tiga pegawai dan dua anaknya dalam menjalani usaha ecoprint.
Selain itu, terkadang mahasiswa dan siswa SMK yang sedang magang atau Praktik Kerja Lapangan juga turut membantunya.
Berbagai produk ecoprint dijualnya, seperti kain, tas kulit, sepatu, sarung bantal kursi, tempat tisu dan lainnya. Harganya mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Dalam produksi, dia bekerjasama dengan mitra UMKM seperti pelaku usaha pembuatan tas, penjahit dan sebagainya.
"Ecoprint seperti menggunakan kain sutra itu harganya bisa Rp 1,5 juta. Tas kulit Rp 1 juta. Tapi kami kerja sama, ada mitra UMKM itu sekitar 5-10 pelaku usaha," katanya.
Awalnya, Siti membutuhkan waktu selama enam bulan belajar ecoprint hingga benar-benar mahir menguasai teknik tersebut. Dia belajar secara online dan offline dengan trainer asal Bali dan Malang.
Namun, Siti merasa tidak mendapat ilmu yang utuh. Kemudian, dia secara otodidak dan trial and error hingga membuat produk ecoprint dengan kualitas yang bagus.
"Satu trainer dengan lainnya saling menutupi, kalau saya enggak seperti itu ketika menjadi trainer, seluruh resepnya saya kasih tahu kepada semua anggota, biar mereka paham dan hasilnya tidak mengecewakan," katanya.
Ketika sudah mahir, Siti mencoba mempopulerkan ecoprint dengan memberanikan membuka pelatihan. Awalnya, ia memberi pelatihan gratis diikuti sekitar 300 ibu-ibu di seluruh Indonesia.
"Awalnya, saya membuka kelas secara gratis dan pendaftarnya sekitar 300 ibu-ibu, dari situ semakin booming dan pemasarannya bagus," katanya.
Siti juga pernah membuka stan berjualan produk-produk ecoprint-nya di salah satu mal Kota Malang. Namun, kondisi pandemi Covid-19 membuat usahanya itu terpuruk. Adanya pembatasan kegiatan masyarakat membuat produktivitas usahanya menurun.
"Saya tutup akhirnya, gimana lagi, masa pengunjung yang boleh ke stan hanya lima orang, sedangkan saat itu juga buka pelatihan di tempat itu," katanya.
Meski begitu, Siti tetap berusaha dengan cara membuka pelatihan ecoprint berbayar demi menutupi hutangnya saat itu. Suaminya yang merupakan anggota TNI bertugas sebagai Babinsa di Koramil Dau yakni Sertu Donatus Rema juga terus memberikan support.
Kemudian, Siti juga menjual ramuan sebagai bahan tambahan pembuatan ecoprint supaya menghasilkan warna yang lebih bagus.
"Enggak mahal, harga standarnya ibu-ibu, dari situ perlahan saya bisa menutupi hutang seluruhnya," katanya.
Saat ini, Siti juga sering diminta mengisi materi ecoprint secara offline dan sudah kemana-mana. Seperti ke kampus-kampus di Kota Malang, instansi pemerintah, kemudian masyarakat di Bekasi dan Gresik.
Kini, masyarakat yang ingin mengikuti pelatihannya bisa secara online dengan dikenakan biaya berbeda-beda sesuai jenis pelatihan yang diambil.
"Biaya pelatihan mulai dari kelas basic sampai yang lancar, kadang diundang sampai ke Bekasi, Gresik. Kalau online hanya membayar materi saja, ada yang hanya Rp 75.000, Rp 100.000, Rp 125.000 tergantung materinya," katanya.
Berjalannya waktu, minat masyarakat yang ingin belajar ecoprint kepada Siti juga besar. Orang-orang yang pernah mengikuti pelatihannya menjadi anggota Sanggar Kreasi Mamalya. Saat ini, Siti memiliki sekitar 1500 anggota tersebar di seluruh Indonesia.
Para anggotanya diberi kesempatan untuk menjadi wirausahawan dengan menjual produk-produk ecoprint-nya atau sebagai reseller. Mereka juga diperbolehkan untuk memiliki merk dagang sendiri dari barang-barang produksinya.
"Ketentuannya sudah mengikuti pelatihan baik online maupun offline, tujuannya kalau ada orang tanya cara pembuatannya seperti apa, mereka sudah tahu, dan tidak bisa dijual sembarang orang, harus anggota saya sendiri," katanya.
Ide membangun sistem usaha itu didapat dari pengalamannya pernah menjadi marketing di salah satu bank dan berjualan produk mengikuti Multi Level Marketing (MLM). Namun, sistem usaha tersebut tidaklah sama dengan MLM dan sejenisnya.
"Beda dengan MLM, jauh sekali, kalau saya tidak ada ikatan, tidak ada paksaan, tidak ada pemberian reward, ya murni usaha jual - beli produk seperti pada umumnya, anggota saya mau jualan produk saya, saya produksi dan kirim barangnya, kemudian anggota saya bisa jualan dengan harga sampai dua kali lipat," katanya.
Untuk omzet setiap bulan dari hasil usahanya itu bisa mengantongi antara Rp 30 juta hingga Rp 80 juta.
Baca juga: Serka Heri Tekuni Bisnis Kopi hingga Kuasai Pasar Kafe di Malang Raya
Menurutnya, usaha ecoprint masih menjanjikan dengan potensi yang besar karena permintaan barang tidak selalu dapat terpenuhi olehnya.
"Ke depan kami ingin membeli mesin untuk membantu produksi skala besar terutama untuk kulit buat tas, sehingga produksinya bisa lebih banyak lagi," katanya.
Siti juga menjelaskan bagaimana proses pembuatan salah satu produk yakni kain ecoprint. Untuk proses awal, siapkan dua kain dipotong sesuai ukuran yang dibutuhkan. Kemudian, kain direndam air yang sudah diberikan tawas, asetat dan lainnya selama 30 menit serta diaduk.
Setelahnya satu kain dibentangkan dan diberi dedaunan di atasnya sesuai selera. Daun-daun yang biasa digunakan seperti kayu afrika, jati, kentular dan lainnya. Setelah itu, kain lainnya ditaruh di atas kain pertama yang sudah diberi dedaunan tadi dan selanjutnya ditutup plastik keseluruhan pada bagian paling atasnya. Kemudian plastik diinjak-injak hingga merata selama 15 menit.
Selanjutnya, gulung keseluruhan bagian dan kemudian dikukus selama dua jam. Setelahnya, bentangkan kembali kain dan bersihkan dari dedaunan yang menempel. Kemudian kedua kain dijemur hingga kering.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.