JAKARTA, KOMPAS.com - Selama ini dodol identik dengan produk kuliner khas dari Garut, Jawa Barat. Maklum, dodol yang ada di pasaran, terutama di pusat oleh-oleh tradisional, rata-rata di-branding sebagai produk buatan Garut.
Namun jika ditelisik lebih jauh, dodol bukan hanya dari Garut. Hampir semua wilayah di Jawa Barat menghasilkan makanan tradisional tersebut dengan berbagai kekhasannya sendiri.
Di wilayah Tenjo Kabupaten Bogor misalnya, ada klaster perajin dodol yang bisa menghasilkan kualitas produk yang dibilang tidak kalah dari dodol dari Garut. Panganan tradisional ini juga punya ciri khas tersendiri yang menjadi daya tariknya.
Baca juga: BRI Lakukan Pendekatan Hybrid untuk Dorong Perkembangan UMKM
Dari segi tampilan dan kemasan, misalnya. Jika dodol garut dikemas dalam potongan kecil-kecil dan sekali makan, dodol tenjo ini dikemas dalam ukuran yang lebih besar. Dan untuk menghabiskannya perlu beberapa kali gigitan.
Selain kemasannya yang khas, konsumen banyak mencari dodol ini karena proses masaknya dilakukan secara tradisional sehingga rasa yang dihasilkan lebih nikmat dan aroma smooky.
Karena karakteristiknya itulah, dodol Tenjo belakangan ini mulai dikenal di pasaran. Konsumen ritel hingga instansi pemerintahan mulai melirik makanan tradisional ini sebagai suguhan jika ada acara.
Terlebih saat hari-hari besar keagamaan seperti Lebaran, Imlek, serta Natal, dodol ini banyak diburu oleh konsumen ritel.
Salah satu produsen dodol Tenjo yang cukup dikenal konsumen adalah keluarga Hj Suhaesih. Mengusung merek Boga Rasa, keluarga ini mulai menjalankan usaha sebagai produsen dodol sejak tahun 1999.
Egi Mardani (35) owner generasi kedua dodol Boga Rasa mengungkapkan bahwa dodol Tenjo mulai banyak dilirik konsumen seiring dengan berkembangnya infrastruktur KRL hingga ke kawasan Rangkasbitung.
“Konsumen dari Jakarta dan sekitarnya sekarang lebih mudah datang ke Tenjo. Mereka bisa datang langsung ke sini untuk membeli dodol,” kata Egi saat membuka perbincangan dengan Kompas.com di kediamannya, Kamis (22/2/2024).
Konsistensi rasa serta penerapan standard bahan baku selama lebih dari 20 tahun, membuat dodol Boga Rasa ini menjadi incaran para konsumen.
Menurut Egi, meskipun banyak banyak bahan baku yang tersedia di pasaran, namun dia tidak mau ngasal untuk memenuhi bahan baku. Ada standard yang ketat terhadap bahan baku yang dipakai, salah satunya adalah gula.
Dodol Boga Rasa selalu menggunakan gula aren yang dipasok dari kawasan Lebak Banten dan tidak menggunakan gula dari pemasok lain. Alasannya, jika gula yang dipakai tidak sesuai, rasa dodol akan berubah dan tekstur akan mudah keras.
“Selain gula, saya juga menerapkan standard pada beras ketan yang digunakan. Jenis ketan tertentu, itu bisa membuat dodol menjadi bagus,” ujar dia.
Dari bahan baku tersebut, akhirnya dodol dengan tekstur yang lembut dan rasa manis yang pas tercipta.
Untuk menjaga kualitas tersebut, dia memiliki pemasok tetap untuk bahan baku dodolnya. Egi tidak bisa sembarangan mengambil bahan-bahan tersebut guna menjaga cita rasa.
Untuk menghasilkan dodol dengan kualitas yang baik, bahan-bahan tersebut dimasak selama kurang lebih 2-3 jam di atas tungku. Selama proses tersebut, adonan harus selalu dibolak-balik agar kematangan bisa merata.
Setelah itu, gula aren yang sudah dicairkan dituangkan ke dalam adonan hingga berwarna merah kecoklatan.
Baca juga: Dodol Betawi Didorong Punya Rasa Cokelat hingga Keju
“Kami memiliki takaran khusus sehingga dodol Boga Rasa ini memiliki rasa yang spesial dari dodol lainnya,” ujar dia.
Kualitas dan rasa dodol Boga Rasa yang selalu terjaga mendorong konsumen ingin kembali lagi membeli dodol ini.
Sebagaimana diungkapkan Muhitoh (51), dia rela jauh-jauh pergi dari Serpong ke Tenjo hanya untuk membeli dodol Boga Rasa. Dia mengaku selalu ingin mengunyah dodol ini karena rasanya yang enak.
“Rasanya enak, makanya saya datang ke sini, sekalian bisa melihat cara membuatnya,” kata Muhitoh.
Sementara itu konsumen lainnya, Elis (47) menceritakan bahwa dia pernah mencoba dodol merek lainnya, namun dia tidak bisa mendapatkan rasa sebagaimana yang dimiliki dodol Boga Rasa.
“Akhirnya ya kembali ke sini buat beli dodol Boga Rasa. Saya senang karena rasanya enak dan berbeda dari yang lain,” ungkapnya.
Kualitas rasa yang selalu terjaga tersebut menjadikan konsumen Boga Rasa loyal. Ini terbukti setiap hari rumah yang juga dijadikan kios jualan oleh Egi selalu dipenuhi pembeli.
Dari situlah, Egi membukukan keuntungan yang lumayan. Dia mengaku omzet dari jualan dodol ini mencapai Rp 3 juta hingga Rp 5 juta dalam sehari.
“Itu ketika pada hari-hari biasa. Penjualan akan meningkat pada momen-momen tertentu, seperti Lebaran, Natal, Imlek,” kata dia.
Dalam sehari, dodol yang diproduksi oleh Egi mencapai sekitar 300 kg. Untuk memasak sebanyak itu, dia mengandalkan delapan tungku, di mana masing-masing tungku dikerjakan oleh satu orang.
Selain proses memasak, tahap yang tidak kalah penting adalah pengemasan. Proses ini dilakukan setelah adonan dodol benar-benar matang.
Baca juga: 5 Hal Penting untuk Kembangkan Bisnis, Jangan Salah Langkah
Untuk mendukung proses produksi tersebut, Egi mempekerjakan sebanyak 25 karyawan yang sebagian besar adalah warga sekitar. Dari jumlah tersebut sebagian besar adalah karyawan perempuan yang bertugas menyiapkan bahan serta pengemasan.
Sementara itu, karyawan laki-laki lebih banyak bertugas mengaduk adonan. Hal ini karena untuk aktivitas tersebut memerlukan kekuatan otot serta harus tahan panas.
Rata-rata waktu kerja adalah setengah hari. Untuk yang mengaduk adonan, karyawan yang bertugas mulai bekerja dari jam 08.00 pagi dan berakhir pada sekitar jam 11.00. Sementara untuk pengemasan mulai bekerja jam 13.00 hingga jam 17.00 sore,” kata Egi.
Para karyawan tersebut juga memperoleh gaji dengan standar UMR setempat.
Salah satu karyawan, Siti (28) mengungkapkan bahwa pendapatan keluarga sangat terbantu dengan keberadaan usaha dodol Boga Rasa.
Siti yang setiap hari bertugas memasak gula aren padat menjadi cair bercerita bahwa dia senang bisa bekerja dengan waktu kerja yang tidak lama, yakni sekitar 4 jam sehari. Dengan demikian, dia bisa kembali ke rumah begitu selesai bekerja.
“Saya sudah sekitar 2 tahun bekerja di tempat ini. Alhamdulillah bisa dapat tambahan penghasilan bagi keluarga,” ujarnya.
Ketekunan Egi Mardani menjaga cita rasa dodol Boga Rasa menjadikan dia berkesempatan menjadi UMKM binaan BRI. Awalnya, dia diarahkan untuk masuk ke program Brilianpreneur, yakni program BRI yang mendorong pelaku usaha bisa melakukan ekspor.
Namun karena produk yang dibuat berupa makanan tradisional dan tanpa tambahan zat kimia, dia belum siap untuk ikut program ekspor yang difasilitasi Brilianpreneur.
“Kalau diekspor, dodol harus ditambah dengan bahan kimia dan itu justru membuat rasa dan tekstur menjadi rusak,” ungkap dia.
Meski demikian, dia tetap berkesempatan mengikuti berbagai pelatihan, seperti halnya pengemasan, aspek kebersihan dan kesehatan produk makanan, pemanfaatan media sosial, hingga pengelolaan usaha.
Baginya, program pembinaan yang dilakukan BRI sangat membantu dia serta pelaku UMKM lainnya dalam menghadapi dinamika perubahan.
Tak sekedar pembinaan, Egi juga mendapatkan tawaran fasilitas KUR untuk mendukung usaha dodolnya yang terus berkembang.
“BRI sangat bagus berhubungan dengan kami, dan mereka selalu menanyakan perkembangan usaha yang dijalankan,” pungkas Egi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.