JAKARTA, KOMPAS.com – Jalanan sempit itu hanya bisa dilalui oleh sepeda motor. Kalaupun ada tamu yang membawa mobil, kendaraan tersebut hanya bisa diparkir di luar gang.
Di ujung jalan, sebuah rumah bercat warna hijau tampak sepi. Begitu pintu rumah diketuk, si pemilik rumah keluar. Sambil tergopoh-gopoh, dia mempersilakan Kompas.com untuk masuk dan duduk di kursi yang ada di ruang tamu.
Si pemilik rumah adalah Tinawati atau kerap dipanggil Titin (37), seorang perajin dan pengepul layang-layang yang tinggal di Kampung Tarikolot, Desa Cimande, Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor.
Baca juga: Melihat Geliat Kampung Layang-layang di Cimande Kabupaten Bogor
Tidak berbeda dari rumah-rumah lainnya di kampung tersebut, rumah Tinawati terlihat tidak terlalu mencolok.
Bayangan bahwa rumahnya dipenuhi layang-layang yang akan dijual menjadi hilang tatkala di rumah itu tidak ditemukan satu lembar pun mainan sejuta umat tersebut.
“Oh, untuk layang-layang semuanya saya simpan di gudang, termasuk juga bahan bakunya,” kata Tinawati membuka perbincangan, (Sabtu 20/4/2024).
Bagi Titin, layang-layang merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-harinya. Karena mainan itu pula, dia bisa membiayai anak sekolah serta menambah aset keluarga.
Kesuksesan Titin berbisnis layang-layang ini merupakan buah dari kesabarannya menapaki berbagai usaha untuk menyambung perekonomian keluarga.
Sekitar 8 tahun lalu, suaminya berhenti bekerja dari sebuah perusahaan tambang emas di Gunung Pongkor, Bogor. Saat itu perusahaan mulai mempersiapkan penutupan lokasi pertambangan, dan suami Titin tidak lagi bekerja di lokasi tersebut.
Baca juga: Hadapi Toko Ritel Modern, Pemilik Toko Kelontong Ini Terapkan Strategi Jitu
Berbekal uang pesangon dari perusahaan, Titin dan suaminya mencoba peruntungan dengan membuka bisnis beras. Ini merupakan kali pertama bagi keduanya membuka usaha.
Namun, usaha yang diharapkan berjalan lancar ternyata merugi. Titin mengaku tidak sedikit uang yang hilang karena usaha beras yang dijalankan tidak membuahkan hasil.
Tak patah arang, Titin kemudian mencoba peruntungan yang lain, yakni berbisnis kayu. Tapi hasilnya tak jauh beda dari usaha beras. Usaha yang dirintis itu juga merugi.
“Dua kali merugi dalam berbisnis, suami saya lantas iseng-iseng membuat layang-layang. Saat itu suami saya bisa menghasilkan hingga 4 bal (4.000 lembar layang-layang) dan dijual laku. Dari situ, akhirnya ada yang mengajak kami untuk bekerja sama dalam membuat layang-layang,” kata Titin.
Layang-layang yang dibuat tersebut dijual kepada seorang agen di Cimande. Karena permintaan terus naik, Titin berinisiatif mencari mitra yang bisa membuat mainan tersebut.
Dia merekrut tetangga dan saudara-saudaranya untuk turut membantu memproduksi layang-layang. Hingga saat ini, jumlah perajin layang-layang yang berada di bawah naungan Titin sebanyak 15 orang