SEPERTI sistem demokrasi di mana secara "de jure" yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi Pancasila, tapi secara "de facto" yang terjadi adalah demokrasi liberal; sistem ekonomi di Indonesia pun demikian.
Secara "de jure" yang berlaku adalah sistem ekonomi kekeluargaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi, "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan", tapi secara "de facto" yang terjadi adalah sistem ekonomi liberal.
Dalam sistem demikian, yang terjadi adalah, mengutip istilah Thomas Hobbes (1588-1679), "homo homini lupus" (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Yang berlaku adalah hukum rimba. Siapa kuat, dialah pemenang.
Sebab itu, perlu perlindungan dan pemberdayaan terhadap usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sedemikian rupa sehingga tidak akan terlibas oleh usaha besar dan konglomerasi. Wirausaha pun harus inovatif dan berkelanjutan.
Apalagi saat ini ada fenomena usaha menengah besar merambah pasar UMKM. Ibarat bertinju, UMKM dan usaha menengah-besar itu beda kelas. Kelas ringan tidak bisa dipertandingkan dengan kelas berat, karena nyaris dapat dipastikan akan kalah. Secara modal saja sudah jauh berbeda.
Yang terjadi pada akhirnya adalah semacam penjajahan ekonomi oleh bangsa sendiri. Bung Karno pernah berkata, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Ungkapan Bung Karno tersebut masih tetap relevan hingga saat ini.
UMKM adalah tingkatan kewirausahaan/bisnis. Tingkatan kewirausahaan di atasnya adalah usaha besar dan konglomerasi.
(Ke)wirausaha(an) adalah istilah usaha atau bisnis yang diperkenalkan di era Orde Baru, sebagai padanan kata dari (bahasa Inggris) "entrepreneurship". Jadi, UMKM merupakan bagian dari kewirausahaan.
Wirausaha kelas menengah-besar seyogianya tidak mengganggu, menyaingi bahkan menjadi predator UMKM. Apalagi menjadi pesaing pedagang kecil.
Maklum, saat ini ada fenomena usaha menengah besar mengambil segmen pasar pedagang kecil seperti "Starling" (Starbuck Keliling), misalnya.
Wirausaha menengah-besar itu melakukan penetrasi pasar dengan membuat gerobak untuk berjualan kopi.
Bagi para wirausaha muda, hendaklah jangan main di ranah pedagang kecil dengan membuat inovasi produk yang hanya mengubah kemasan agar terlihat lebih bagus dan dijual dengan harga lebih mahal. Indonesia butuh wirausaha baru yang menciptakan ekonomi baru.
Opsi lain, bidik pasar luar negeri. Seperti PT Platinum Wahab Nusantara Tbk (TGUK), emiten gerai minuman dengan nama "Teguk".
Artinya, sudah saatnya wirausaha Indonesia merambah pasar global, jangan jago kandang dan meningkatkan persaingan sengit di negeri sendiri.