Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tantangan dan Strategi Berbisnis Inklusif ala Founder Batik Organik

Kompas.com - 15/12/2024, 20:00 WIB
Anagatha Kilan Sashikirana,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi

BOGOR, KOMPAS.com - Selain berfokus pada bisnis, Founder Batik Organik, Ana Khairani (40), juga dapat menerapkan model bisnis inklusif. Diketahui, Batik Organik merupakan jenama lokal yang memproduksi kain batik dengan serat dan pewarnaan alami.

Di Bogor, Ana telah memberdayakan lebih dari 19 perajin batik dan melatih ibu-ibu marjinal hingga penyandang disabilitas melalui program Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tumbuh. Kelompok Usaha Bersama ini bertujuan untuk memberdayakan perempuan dan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar Desa Cipaku Bogor.

Baca juga: Cerita Ana Khairani Membangun Batik Organik hingga Diminati Pasar Global

Founder Batik Organik ini juga menghadapi berbagai tantangan dalam memberdayakan masyarakat marginal melalui program KUB Tumbuh. Meskipun demikian, dengan strateginya Ana tetap berhasil menjalankan bisnis inklusifnya tersebut.

Saat berbincang dengan Kompas.com, Ana Khairani membagikan apa saja tantangan dan strategi yang ia gunakan selama mengimplementasikan bisnis inklusif,

Menghadapi Karakter Mental Block

Salah satu tantangan terbesar dalam bisnis inklusif adalah menghadapi perbedaan karakter dan pola pikir masyarakat yang diberdayakan itu sendiri. Ana menuturkan bahwa membangun mentalitas masyarakat marjinal tidak semudah mengelola karyawan tetap yang memang ia rekrut biasanya.

Baca juga: Tantangan yang Sering Ditemui Bisnis Inklusif dan Strategi Mengatasinya

“Tantangannya sih berbeda ketika kita me-manage sumber daya manusia yang benar-benar kita punya di dalam organisasi kita sendiri yang sudah tetap bekerja. Berbeda dengan bisnis inklusif ini, pola-pola yang pemberdayaan masyarakat itu challenging banget. Pertama dari karakter itu sangat-sangat sulit untuk kita. Karakter tuh maksudnya kayak mental block,” ungkap Ana kepada Kompas.com, (7/12/2024).

Strategi Ana adalah memberikan pelatihan intensif dan konsisten. Ia percaya bahwa pendekatan humanis dapat membantu masyarakat melihat potensi diri mereka.

“Tapi kalau di tempat kami alhamdulillah memang ibu-ibunya tuh rajin-rajin dan bisa di-empowering gitu,” tambah Ana.

Baca juga: Bisnis Inklusif: Definisi, Imiplementasi, dan Ciri-Cirinya

Melawan Ketakutan akan Gagal

Ana juga mengungkapkan bahwa ketakutan adalah tantangan besar. Membangun bisnis dan melibatkan masyarakat marginal untuk menjadi pembatik sebebenarnya juga bukan hal yang mudah, terlebih lagi menurutnya di desa tersebut bukanlah desa pengrajin batik.

Batik Organik menerapkan model bisnis inklusif dan telah memberdayakan 19 pengrajin batik dan melatih ibu-ibu marginal melalui program Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tumbuh.Dok. Batik Organik Batik Organik menerapkan model bisnis inklusif dan telah memberdayakan 19 pengrajin batik dan melatih ibu-ibu marginal melalui program Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tumbuh.

“Mungkin sebagian orang kan ada rasa takut, takutnya gak works nih, takutnya sia-sia. Tapi untuk menjadi bisa ya, melatih diri sendiri itu minimal satu bulan deh. Untuk dari yang nol banget sampai bisa dikategorikan expert lah ya. Tantangan kemarin adalah, ya disini bukan desa perajin,” kata Ana

Namun, ia memilih untuk terus maju meski skema keberhasilannya belum terlihat jelas. Dengan konsistensi dan niat yang penuh, nyatanya para anggota KUB Tumbuh yang ia bina tetap bisa menghasilkan kain batik yang kualitasnya sesuai dengan harapan.

Baca juga: Ikut Lestarikan Lingkungan, Pelaku UMKM Perlu Kembangkan Model Bisnis Inklusif

Hasilnya, ibu-ibu yang sebelumnya tidak memiliki keahlian kini mampu menghasilkan batik berkualitas tinggi, bahkan dengan teknik pewarna alami yang membutuhkan ketelitian.

“Kalau aku maju aja dulu. Kita latih sampai bisa menghasilkan kayak gini hasilnya bagus dan rapi. Engga ada yang enggak bisa ternyata,” ujarnya.

Membangun Sistem yang Adil

Bisnis inklusif tentu saja bertujuan untuk membantu perekonomian masyarakat marjinal dan membuat mereka lebih berdaya. Sehingga untuk menjaga produktivitas dan memastikan semua anggota mendapatkan hak yang adil, Ana menerapkan sistem berbasis kontribusi dan produktivitas.

Setiap anggota yang mengerjakan tugas tertentu akan mendapat upah yang disesuaikan dengan kerjanya. Menurut Ana, Sistem ini memastikan setiap anggota memahami bahwa kontribusi mereka dihargai secara proporsional, sekaligus menjaga stabilitas cash flow perusahaan.

Baca juga: Dorong Berjalannya Bisnis Inklusif, Standard Chartered Gelar Program Futuremakers

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau