KUPANG, KOMPAS.com - Merantau ke Pulau Sumba pada tahun 1996 menjadi pilihan Eduardus Seran Klau (36).
Eduardus adalah pria lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) asal Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam benak Eduardus, ia ingin mengubah nasibnya di tanah orang.
Bermodal semangat untuk maju, Eduardus pun mulai menggeluti sejumlah jenis usaha. Dari tukang ojek hingga penjual ikan.
Perjalanan hidup Eduardus berlanjut dengan menikahi seorang wanita asal Kabupaten Sumba Timur. Anak pertamanya, seorang perempuan lahir.
Eduardus semakin bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Puncaknya, pada tahun 2018, Eduardus mulai mengenal usaha kelor.
Waktu itu, ada pencanangan dari Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. Seluruh desa di NTT diminta menanam kelor.
"Di situ saya melihat bahwa ini peluang. Ada apa di balik program kelor ini, kata saya dalam hati waktu itu. Pasti ada sesuatu yang besar, bagi kami sebagai seorang wirausaha. Akhirnya saya coba pelajari bagaimana caranya pengolahan kelor ini. Maka dapatlah channel Youtube dari guru besar saya pak Dedi Krisnadi dari Dapur Kelor," kata Eduardus kepada Kompas UMKM, Selasa (6/9/2022).
Dari channel Youtube tersebut, Eduardus mulai belajar bagaimana membuat serbuk kelor dalam skala kecil. Setelah itu, ia mencoba menjualnya. Voilla, ternyata laku.
"Mungkin juga ada yang beli karena kasihan. Saya terus berjalan tapi dengan satu keyakinan suatu saat akan jadi besar. Ini bukan pengakuan Indonesia atau daerah tapi pengakuan dunia dan telah melewati ribuan kali studi banding terkait kelor untuk penanganan stunting. Dengan pemahaman itu membuat saya tetap konsisten," jelas Eduardus.
Eduardus dengan yakin menawarkan produk serbuk kelornya ke Kelurahan Malumbi di Sumba Timur.
Eduardus mulai presentasi dan mendapat sambutan yang ia tidak pernah duga. Gayung pun bersambut. Omzet penjualannya terus berkembang.
Pihak Kelurahan Malumbi membeli produknya senilai Rp5 juta. Uang itu bagi Eduardo adalah nilai yang besar. Ia saat itu baru banting stir dari tukang ojek dan penjual ikan.
"Istri saya bilang ini peluang. Akhirnya, dari satu kelurahan itu saya coba tawarkan ke kelurahan lain. Yang uniknya tidak diundang tapi saya akan hadir. Acara apapun itu saya akan hadir meski tidak diundang untuk menawarkan olahan kelor yang saya punya," ujar Eduardus.
"Tapi saya punya persoalan untuk menunjang proses produksi. Kalau bahan baku banyak karena Sumba Timur, di tempat tinggal saya letaknya dekat pantai. Apalagi habitatnya 0 sampai dengan 5.000 meter di atas permukaan laut jadi banyak sekali kelor," sambung Eduardus.
Usaha kelor Eduardus berubah ketika suatu waktu ia ikut kegiatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait UMKM di Sumba Timur.