JAKARTA, KOMPAS.com – Desa Cimande Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor selama ini dikenal sebagai pusat pengobatan dan terapi patah tulang. Ada puluhan terapis tulang di desa ini yang siap menangani berbagai keluhan pasien yang datang dari berbagai daerah.
Di balik tenarnya Cimande sebagai pusat terapi tulang, daerah ini sebenarnya juga memiliki aktivitas ekonomi lainnya yang turut berkontribusi terhadap perekonomian masyarakat, yakni produksi layang-layang.
Bagi masyarakat Cimande, utamanya mereka yang tinggal di Kampung Tarikolot, membuat layang-layang merupakan aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Di sela-sela berkebun dan bertani, banyak warga di kampung ini yang membuat mainan tersebut.
Baca juga: Ingin Ajukan KUR BRI? Pahami Persyaratan dan Aturan Mainnya
Hal ini pula yang kemudian membuat Kampung Tarikolot selama bertahun-tahun menjadi sentra perajin layang-layang. Banyak pedagang dari luar daerah yang mengambil barang dari daerah ini untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.
Aktivitas produksi dan jual-beli layang-layang semakin bergeliat ketika memasuki musim kemarau. Perputaran uang cukup besar dan membuat para perajin menikmati hasil yang lumayan.
Salah satu perajin dan pengepul layang-layang di Kampung Tarikolot, Cimande Kabupaten Bogor adalah Tinawati atau akrab dipanggil Titin (37). Sudah sekitar 7 tahun dia menekuni usaha ini, dan saat ini memiliki mitra sebanyak 15 orang perajin layang-layang.
“Layang-layang yang saya jual ini sebagian besar dibuat oleh mitra perajin. Semua bahan baku dari saya dan saya membayar jasa ke para perajin tersebut,” kata Titin saat ditemui di kediamannya, Sabtu (20/4/2024).
Para perajin tersebut setiap minggu menyetorkan layang-layang yang dibuat kepada Titin dengan jumlah yang beragam, mulai dari 2 bal hingga 3 bal. Di mana, 1 bal berjumlah 1.000 lembar layang-layang.
Baca juga: Klaster Bisnis Tahu-Tempe Binaan BRI Ini Punya Aturan Bisnis Sendiri, Seperti Apa?
Para perajin yang menjadi mitra Titin membuat layang-layang di sela-sela waktu luang usai bekerja dari sawah dan kebun, dan menjadi tambahan pendapatan mereka yang pekerjaan utamanya adalah bertani dan berkebun.
“Jasa pembuatan yang saya berikan kepada perajin bermacam-macam, mulai dari Rp 50.000 per bal hingga Rp 70.000 per bal tergantung jenisnya,” kata Titin.
Ongkos pembuatan paling murah diberikan untuk perajin yang menggunakan bahan dari plastik yakni Rp 50.000 per bal. Menempati urutan kedua adalah layang-layang berbahan kertas, yang dihargai RP 60.000 per bal.
Termahal adalah layang-layang yang menggunakan bahan kertas sablon. Titin menghargai perajin Rp 70.000 per bal untuk pembuatan jenis ini.
Titin mengungkapkan karena lahir dan besar di Tarikolot, dia sangat memahami seluk-beluk bisnis layang-layang. Termasuk siapa saja yang selama ini menjadi perajin layang-layang serta para pemasok bahan bakunya.
“Dari para tetangga dan kerabat, layang-layang tersebut saya jual kembali ke agen yaitu pedagang yang lebih besar lagi di Cimande,” kata Titin.
Sementara untuk bambu yang menjadi bahan baku utama, Titin mendapatkan pasokan dari pedagang yang berasal dari desa lainnya. Para pemasok berdatangan ke tempat usaha Titin untuk menyetor bahan baku yang dibutuhkan.
Baca juga: Menikmati Pertunjukan Wayang Golek di Warung Kopi Saung Jurasep Bogor
“Untuk kertas, saya membeli dari pedagang besar yang membeli layang-layang dari saya. Jadi agen tersebut tidak hanya membeli namun juga sekaligus sebagai suplier untuk kertas,” ujar dia.
Usaha layang-layang yang dijalankan Titin bersama suaminya sejak 2017 ini sekarang sudah berkembang pesat. Per bulan, tak kurang 60-100 bal layang-layang dia jual ke agen besar dengan harga per bal sekitar Rp 350.000.
Berkembangnya usaha yang dirintis Yuli dan suaminya tidak lepas dari dukungan permodalan yang memadai.
“Saya mendapatkan fasilitas pinjaman KUR (Kredit Usaha Rakyat) dari BRI untuk mengembangkan usaha layang-layang ini. Alhamdulillah, usaha yang saya jalankan ini tetap bisa bertahan dan cicilan juga tidak ada kendala,” ungkapnya.
Baca juga: Dari Jualan Jamu, Jubaedah Mampu Hidupi Tiga PAUD Gratis di Karawang
Ketika pertama kali mengajukan KUR, Yuli mendapatkan fasilitas sebesar Rp 10 juta. Dalam perjalanannya, fasilitas yang diterima mengalami kenaikan menjadi Rp 20 juta, dan naik lagi menjadi Rp 50 juta.
Pinjaman tersebut dipakai untuk modal kerja menjalankan usaha layang-layang. Dari usaha ini pula, dia berhasil membeli kendaraan untuk mendukung operasional bisnis.
Klaster layang-layang ini merupakan sektor yang unik, yang bisa ditemui di Cimande dan berbeda dari klaster UMKM pada umumnya yang bergerak di bidang makanan.
“Memang ada keunikan pada klaster layang-layang ini. Di Kampung Tarikolot dan Lemahduwur perajin masih bertahan. Selain petani, kebun, di sana ada pekerjaan sambilan yakni membuat layang-layang,” kata Ricki.
Baca juga: Saparudin, “Guru” yang Lahirkan Puluhan Pebisnis Tempe di Citeureup Bogor
Ricki mengungkapkan bahwa bisnis layang-layang di Cimande ini turut berkontribusi terhadap perekonomian masyarakat setempat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Tinawati, usaha yang dijalankan bisa membantu perekonomian warga lainnya yang menjadi perajin.
Terlebih ketika musim kemarau, perputaran ekonomi dari layang-layang ini jauh lebih besar ketimbang saat musim penghujan.
“Memang layang-layang ini bisnis musiman. Namun selama ini perajin dan pengepul seperti Bu Titin usahanya berjalan bagus dan pembayaran tidak ada kendala. Selama ini kami fokus memberi fasilitas pinjaman KUR kepada orang-orang yang memiliki mitra di bawahnya seperti Bu Titin yang punya mitra hingga 15 orang,” ungkap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.