Untuk mendapatkan limbah-limbah itu mereka mengaku mengambilnya dari apa yang ada di sekitarnya. Namun untuk kayunya, mereka mengaku mengambil dari perusahaan-perusahaan kayu di dekat rumahnya saja yaitu daerah Kembangan, Jakarta Barat.
Awalnya mereka harus membayarnya, tetapi lama kelamaan perusahaan kayu itu memberikannya secara sukarela.
“Mereka seneng kalau kita ambil sisa kayu itu, bahkan mereka minta kita ambil semua sampah mereka secara rutin,” ujar Vera.
Melalui Volks Arts, Argo dan Vera dapat menghasilkan omzet di bawah Rp 10 juta tiap bulannya. Omzetnya juga fluktuatif tergantung seberapa sering mereka mengikuti pameran dan mendapatkan pesanan.
Namun, menurut mereka omzet itu tidak penting. Mereka lebih senang jika melihat ada orang yang membeli produk mereka dan kemudiannya memakai produk itu. Banyak orang dari luar negeri yaitu Jepang, China, dan Afrika yang langsung klop dengan produk Volks Arts saat bertemu di pameran.
“Kami bangga dan puas melihat produk murni hasil ide dan tangan kami, yang dari sampah buangan, disukai orang dan kemudian dipajang di rumah-rumah mereka,” jelas Vera.
Maka dari itu, target pasar Argo dan Vera dari awal memang kepada pecinta seni, yaitu orang yang melihat dan menghargai produk dari nilai seninya. Vera mengatakan para pecinta seni itu tidak ragu membeli produknya dalam jumlah banyak, yaitu bisa di atas 5pcs.
“Owner café, usaha kos-kosan, dan untuk latar podcast juga beberapa beli di kami untuk latar dan pajangan dinding,” kata Argo
Memasarkan produk homedecor dari bahan-bahan limbah ini tentu tidak mudah, karena orang biasa atau orang awam tidak akan paham dengan seberapa bernilainya produk dari hasil 3R (Reduce, Recycle, dan Reuse) ini.
Argo dan Vera mengaku mendapat banyak bantuan dari pemerintah seperti kecamatan Kembangan, Serut (Serpong Utara), hingga Jakpreneur. Ketiga itu memberikan arahan, pelatihan, dan bimbingan bagi mereka berdua untuk mengelola Volks Arts.
Hal tersebut sangat membantu Argo dan Vera, karena mereka berdua tidak mempunyai pengetahuan akan bisnis, yang mana permasalahan itu selalu menjadi kendala Volks Arts. Menurut mereka, ketidaktahuan akan cara berbisnis menyebabkan kurangnya respon pembeli terhadap Volks Arts.
Baca juga: Kisah Ahmat, Rintis Usaha Limbah Kayu Jati dan Berdayakan Masyarakat Sekitar
Selain itu, mereka juga merasa kesulitan akan pemasaran. Namun, mereka terbantu karena ketiga pihak itu selalu mengajak Volks Arts untuk pameran di berbagai daerah, nasional bahkan internasional.
“Pameran dengan tempat yang sesuai menjadi pemasaran yang efektif, karena kami tidak punya toko fisik langsung. Dengan pameran akan mempertemukan kita dengan buyer yang luas. Jadi bisa meningkatkan penjualan,” jelas Argo.
Selain menggunakan pameran sebagai pemasaran utama, mereka juga memanfaatkan pemasaran online seperti PaDi UMKM, Instagram (@volks.arts), Linktree, Facebook, dan Tiktok.
Selain kedua permasalahan itu, kendala lain yang paling sering dirasakan adalah permasalahan tenaga kerja. Vera mengaku kalau sering mengikuti pameran, resiko yang mereka terima adalah mereka tidak punya waktu untuk produksi karena mereka harus menjaga stand.
Kendala-kendala itu tak membuat mereka berdua menyerah. Argo dan Vera tetap komitmen agar terus menjadi produktif untuk mengupayakan bisnis Volks Arts.
Mereka berharap bisa terus peduli lingkungan dan bisa menularkannya kepada orang-orang di luar sana. Argo mengatakan bahwa ia ingin sekali mempunyai kelas sendiri agar bisa berbagi kepada orang-orang banyak dan bisa merekrut orang agar menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi mereka.
Sedangkan Vera, ia berharap agar Volks Arts bisa terus maju di skala nasional maupun internasional. Ia ingin produk Volks Arts dikenal dan dipakai oleh banyak orang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.