BOGOR, KOMPAS.com - Pagi itu di tengah suara deras arus Bendungan Katulampa Kota Bogor, sayup-sayup terdengar ketukan besi dari sebuah bengkel produksi bertuliskan "Paneupaan Kujang Pajajaran".
Memasuki bengkel tersebut, nampak beberapa pekerja yang tengah asyik membuat kujang. Seorang lelaki menyambut kedatangan Kompas.com, dialah Wahyu Affandi Suradinata, yang saat ini menjadi satu-satunya pengrajin kujang (Guru Teupa) di Bogor.
Sambil bernostalgia, Abah Wahyu menceritakan perjalanannya. Kisah ini bermula dari Wahyu yang menemukan sebuah kujang di Sukawayana Pelabuhan Ratu pada tahun 1993.
Baca juga: Mengintip Perajin Topeng Kesenian Tradisional di Malang yang Tetap Eksis
Wahyu yang masih bingung akhirnya berdiskusi dengan Ki Anis Jatisunda seorang guru budayawan, mereka mengulik Pantun Bogor. Di dalamnya diceritakan banyak sejarah Sunda Pajajaran, salah satunya mengenai 6 jenis kujang.
Hal itu membangkitkan semangat Wahyu untuk mengulik lebih jauh soal kujang. Kebetulan, Wahyu memang menyukai kesenian dan kebudayaan. Mengisi waktunya di akhir pekan, Wahyu sering mengunjungi museum-museum untuk mendalami kujang.
Singkat cerita, di tahun 1995, Wahyu mulai membuat dan memproduksi kujang sendiri. Saat itu dia masih menjadi guru di salah satu sekolah kejuruan.
"Awalnya iseng buat kujang sendiri. Misal guru-guru di sekolah ada yang mau, saya kasih saja secara geratis. Sampai akhirnya di tegur oleh Ki Anis, kalau kujang tidak bisa sembarangan dikasih seperti itu," cerita Wahyu kepada Kompas.com, Selasa (30/4/2024).
Baca juga: Kisah Jurasep Membangun Warung Kopi dengan Sentuhan Seni dan Budaya
Oleh sebab itu di tahun 2005, Wahyu mulai serius dengan usaha kujangnya. Sebenarnya, kujang termasuk benda bersejarah dari zaman kerajaan terdahulu, tapi beberapa masyarakat ternyata masih asing dengan kujang, sehingga yang membeli hanya segelintir orang saja.
Melihat hal ini, Wahyu mengerti bahwa kujang yang berbentuk pusaka sulit untuk digandrungi oleh semua kalangan.
Akhirnya, Wahyu mulai menciptakan inovasi baru berupa pin dan gantungan kunci. Aksesoris seperti ini lebih mudah disenangi oleh perempuan.
Baca juga: Menikmati Pertunjukan Wayang Golek di Warung Kopi Saung Jurasep Bogor
"Kalau ibu-ibu dulu masih bingung dan takut sama kujang. Pelan-pelan saya coba kenalkan dalam bentuk pin dan gantungan kunci, sehingga mereka lebih suka. Jadi kujang ini bisa masuk ke semua kalangan," ujarnya.
Seiring berjalan waktu, Abah Wahyu semakin dibanjiri orderan. Ia memutuskan berhenti mengajar di sekolah dan fokus menggeluti usaha ini.
Sampai saat ini, Paneupaan Kujang Pajajaran memproduksi kujang pusaka, dekorasi, pajangan, plakat, hingga aksesoris.
Uniknya, Guru Teupa ini tetap memegang teguh tatali paranti (adat atau aturan tak tertulis yang biasa dilaksanakan) dalam pembuatan kujang pusaka. Biasanya, Abah Wahyu menempa kujang di hari Senin dan Kamis dibarengi dengan puasa sunnah.
"Kalau orang Sunda menyebutnya tatali paranti, jadi di sini menempa kujang pusaka hari Senin dan Kamis, yang menempa juga berpuasa pada hari itu. Kami percaya saat berpuasa orang dalam kondisi yang baik atau bersih, sehingga apa yang dikerjakan juga hasilnya bisa lebih baik," ungkapnya.