Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tantangan yang Sering Ditemui Bisnis Inklusif dan Strategi Mengatasinya

Kompas.com - 03/12/2024, 20:00 WIB
Anagatha Kilan Sashikirana,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Bisnis inklusif adalah model bisnis yang bertujuan untuk menciptakan nilai ekonomi sekaligus nilai sosial dengan melibatkan kelompok marjinal sebagai ke dalam rantai bisnis, baik itu sebagai mitra, distributor, pemasok, pengecer, ataupun pekerja.

Model bisnis ini berfokus pada pemberdayaan kelompok marjinal seperti masyarakat miskin, penyandang disabilitas, atau komunitas terpencil. Saat ini, di Indonesia sudah cukup banyak bisnis inklusif di berbagai sektor, seperti di sektor agribisnis, teknologi, hingga FnB.

Namun, mengimplementasikan bisnis inklusif juga bukan hal mudah dan kerap kali ditemui beberapa tantangan.

Dilansir dari beberapa sumber, berikut ini adalah beberapa tantangan yang sering dihadapi oleh bisnis inklusif dan strategi yang dapat digunakan untuk mengatasinya.

Baca juga: Seed Paper Indonesia, Jaga Lingkungan dan Berdayakan Masyarakat

1. Akses yang Terbatas

Berhubung fokus utama dari bisnis inklusif adalah melibatkan kaum marjinal, maka tantangan yang mereka hadapi sering kali berkaitan dengan tantangan yang tengah dihadapi pula oleh kaum marjinal itu sendiri.

Biasanya, kelompok marjinal seringkali menghadapi tantangan berupa kurangnya akses yang memadai ke pasar. Ada beberapa faktor yang bisa menjadi alasan, mungkin saja karena karena keterbatasan infrastruktur, pengetahuan, atau bahkan terbatasnya jaringan.

Dalam hal ini, tantangan tersebut juga bisa menjadi tantangan bagi para pemilik bsinis, karena akan sulit bagi mereka untuk saling menjangkau dan menjadi bagian aktif dalam rantai pasok.

Bisnisnya sulit untuk menjangkau kelompok tertentu, dan kelompok potensial tersebut juga sulit untuk memberitahukan eksistensi dan keberadaannya.

Baca juga: Kisah I Komang Sukarma, Berdayakan Petani Lontar di Karangasem Melalui Tarunira

Strategi untuk mengatasi tantangan ini, pada dasarnya memang bisnsi inklusif perlu kolaborasi kuat dari berbagai pemangku kepentingan baik itu pemerintah, perusahaan, dan kelompok dengan visi misi yang sama.

Sehingga salah satu upaya yang bisa membantu mengatasi permasalahan ini adalah dengan peningkatan infrastruktur.

Bagaimana pun, infrastruktur seperti jalan, transportasi, dan jaringan komunikasi merupakan jembatan untuk menghubungkan komunitas marjinal dengan para pebisnis hingga ke pasar yang lebih luas.

Selain itu, pemanfaatan digitalisasi di era digital ini juga bisa dilakukan. Misalnya dengan menggunakan teknologi digital, seperti e-commerce atau aplikasi seluler, untuk lebih mempermudah informasi dan saling menjangkau antar pihak.

Baca juga: Mengintip Sentra Oleh-oleh Oreng Osing yang Berdayakan Petani di Banyuwangi

2. Kurangnya Kapasitas dan Keterampilan

Tak bisa dipungkiri, terkadang masih ditemukan kelompok marjinal yang masih kurang memiliki keterampilan atau pengetahuan yang cukup diperlukan untuk terlibat dalam bisnis.

Hal ini juga menjadi salah satu tantangan, meskipun bisnis inklusif juga berfokus pada nilai sosial, tetapi bisnis tetaplah bisnis yang butuh nilai ekonomi.

Misalnya, bisnis yang menjual olahan bahan organik ingin melibatkan kelompok petani lokal, tetapi para petani kecil mungkin kurang memahami praktik pertanian organik untuk menghasilkan bahan baku yang diminta oleh perusahaan.

Baca juga: Berdayakan Kelompok Petani, Mi Sagu Ambon Buat Suvenir dari Limbah Sagu

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau