KOMPAS.com - Perkembangan teknologi digital pada dunia bisnis pada dasarnya membawa dampak positif, karena membantu proses transaksi lebih efektif dan efisien.
Namun faktanya, belum semua bidang bisnis, terutama usaha kecil menengah (UKM) memahami sistem transaksi daring atau online.
Terkait hal tersebut, Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI) memaparkan hasil survei, tentang beberapa tantangan yang dihadapi UKM yang belum akrab dengan transaksi daring (online).
Baca juga: Venture Capitalist: UMKM di Indonesia Berpeluang Tumbuh di 2023 dan Seterusnya
Kepala UKM Center FEB UI Zahra Kemala mengungkap, salah satu hasil dari survei tersebut menunjukkan bahwa pelaku UKM sudah mulai aktif menggunakan aplikasi pesan instan dan media sosial, namun masih belum terlalu familiar dengan e-commerce, baik dalam kegiatan membeli maupun menjual.
“Masih banyak pelaku UKM yang memiliki kerangka pikir tradisional, gadget yang outdated, waktu yang terbatas karena sibuk dengan aktivitas jual beli, infrastruktur jaringan yang terbatas, dan kurangnya akses terhadap informasi,” jelas Zahra, seperti dikutip dari Antara, Minggu (12/2/2023).
Dari hasil survei UKM Center FEB UI mencatat, sebanyak 61 persen pemilik UMKM berumur lebih dari 40 tahun, 37 persen berumur 25-40 tahun, dan 2 persen berumur kurang dari 25 tahun.
Sementara dari tingkat pendidikan, didominasi oleh lulusan SMA sebanyak 40 persen, lulusan SD sebanyak 22 persen, lulusan SMP sebanyak 21 persen, pemegang gelar sarjana/master/doktor sebanyak 11 persen serta sebanyak 6 persen tidak memiliki latar belakang pendidikan.
Berdasarkan hasil survei tersebut, menurut Zahra, pemerintah perlu membuat peta jalan digitalisasi UKM, mengadakan pelatihan digital yang disesuaikan dengan segmentasi pasar, meningkatkan standar pelayanan ekosistem digital, dan perlu adanya suatu komunitas yang dapat saling mendukung praktik digitalisasi UKM.
"Berdasarkan pengalaman terdahulu, pelatihan digitalisasi perlu dilakukan kepada seluruh karyawan, tidak hanya pemilik usaha karena sering kali materi tidak tersampaikan dengan efektif sampai level pelaksana, sehingga menghambat proses transfer ilmu yang dilakukan oleh pemerintah," ujar dia.
Baca juga: 3 Langkah Sukses Jualan di E-Commerce
Sementara itu, Kepala Divisi Digital Economy ILUNI FEB UI Imanul Hakim Camil memberikan alternatif lain untuk pengembangan UKM.
Berdasarkan pengalamannya, jauh lebih efektif menggunakan skema "super offtaker" dari pada program pendampingan.
"Jadi bentuk usahanya yang dimitrakan dengan merek dan kualitas yang sudah terjamin, agar omzet lebih terjaga,” ujar Imanul.
“Karena memang tidak bisa dipungkiri, bahwa pelaku UKM selalu fokus ke omzet penjualan, makanya sulit bagi mereka untuk mengikuti program pelatihan maupun pendampingan yang mengorbankan banyak waktu dan tenaga mereka yang bisa dialokasikan untuk berjualan," imbuhnya.
Ia melanjutkan, tujuan dari skema tersebut adalah terciptanya sebuah ekosistem dengan omzet UKM yang sehat, dengan bentuk kerja sama yang akan lebih banyak melibatkan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa.
Sedangkan, staf pengajar FEB UI Hapsari Setyowardhani menggagas perlu adanya satu big data yang dikelola pemerintah sebagai database UMKM seluruh Indonesia.
Database itu dapat digunakan oleh berbagai instansi pemerintahan maupun oleh pelaku UMKM untuk keperluan pemetaan pasar dan mengelola persaingan.
"Selain itu, perlu adanya dukungan dari pemerintah lokal, seperti pemda atau pemkot dalam hal pendampingan UMKM naik kelas. Optimalisasi lokalisasi layanan pun perlu dilakukan oleh pemerintah, terutama untuk usaha kuliner," kata Hapsari.
Baca juga: Cara Cerdas agar UMKM Mampu Bersaing di E-Commerce Lokal
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.