KOMPAS.com – Yohanes yang sedang menjalani program ikatan dinas di Telkom Bandung, mendapatkan kabar bahwa ibunda tercinta terkena stroke. Yohanes lalu memutuskan resign untuk merawat sang ibu sampai sembuh.
Yohanes yang memiliki nama lengkap Yohanes Wahyu Triatmaja (31) asal Ngawi merupakan generasi kedua dari usaha batik khas Ngawi bermotif fosil. Usahanya bernama Batik Widi Nugraha.
“Generasi pertama itu ibu, ibu saya memiliki tiga anak. Anak yang kedua bernama Widi Nugraha itu seorang difabel tuli dari lahir, nah Mas Widi ini memiliki keterampilan menjahit tapi tidak bisa bersaing dengan penjahit normal,” jelas Yohanes ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (6//6/2023).
Selanjutnya, Yohanes meneruskan usaha Batik Widi Nugraha di tahun 2014 yang berkembang sampai saat ini. Hal ini tidak terlalu sulit dilakukan karena ia sudah akrab sekali dengan pemasaran batik.
Baca juga: Kisah Kustalani, Pertahankan Bisnis Batik Tubo Ternate meski Diterpa Pandemi
Memilih batik khas Ngawi karena menyadari setiap daerah di Indonesia memiliki khas geografi dan budaya masing-masing. Sementara motif fosil terinspirasi dari ditemukannya Museum Trinil di Ngawi, yaitu Museum Pithecanthropus erectus.
Sehingga, batik yang dihasilkan motifnya hanya menampilkan desain yang mengandung unsur prehistoric journey atau purbakala, fosil, dan khasanah geografis Ngawi seperti Gunung lawu.
“Syukurlah sampai saat ini pelanggan loyal maupun pelanggan baru banyak tertarik dengan desain kami karena desain terus berkembang seiring dengan zaman. Kami perbaiki dari tahun ke tahun sehingga mengalami beberapa evolusi,” kata Yohanes.
“Mulai dari batik lokal sampai akhirnya memenangi beberapa kompetisi tingkat Jawa Timur seperti di tahun 2020 juara 1 dari Lomba Perkoperasian dan Usaha Kecil dan Menengah,” sambung Yohanes.
Baca juga: Batik Lawasan Jawi Kinasih Andalkan Pameran untuk Raup Cuan
Ia juga mengatakan, bahwa Batik Widi Nugraha diakui Provinsi Jawa Timur sebagai khasanah kekayaan budaya di Jawa Timur. Hal seperti itu, memberikan inspirasi dan dorongan Yohanes untuk terus berkarya.
“Sebelum pandemi Covid hampir memiliki 120 karyawan, maka kami memiliki berbagai segmen, yakni batik yang terjangkau dan premium seri collector yang harganya jutaan rupiah,” kata Yohanes.
Saat ini, masih berupaya bangkit dengan memiliki 12 karyawan dalam proses produksi, baik produksi kain maupun konveksi baju. Sebanyak 50 persen dikerjakan oleh teman disabilitas dalam Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin).
Waktu pengerjaan tergantung motif, apabila simpel sekitar satu minggu, rumit sekitar 1 bulan, dan untuk premium sekitar 3 bulan sampai 6 bulan. Untuk target pasarnya adalah wanita dan pria dengan usia produktif.
Baca juga: Kiat Sukses Batik Maos Rajasamas Gaet Pembeli di Mancanegara
“Di tempat kami ada one stop shopping, jadi orang bisa datang untuk melihat proses produksi, memilih kain, mengukur, dan membeli baju secara langsung. Itulah alasan kami bisa bertahan di pandemi kemarin,” jelas Yohanes.
Untuk toko offline bernama Griya Batik Widi Nugraha terletak di Jl. Wahid Hasyim No.3, Mojo, Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
“Dari tahun 2010 sampai 2017 belum mengenal media sosial, pemasaran dilakukan hanya mengandalkan dari mulut ke mulut dan sering memberikan batik kepada pimpinan daerah,” kata Yohanes.