JAKARTA, KOMPAS.com – Karangasem, menjadi satu-satunya daerah penghasil pohon lontar terbesar di Bali. Founder & CEO PT INOVASI TANI TARUNIRA, I Komang Sukarma berhasil memberdayakan petani lontar di Karangasem dan meningkatkan taraf hidup mereka.
Dengan semangat pemberdayaan masyarakat dan kecintaan pada potensi alam lokal, ia mendirikan Tarunira sejak 2021.
Tarunira merupakan sebuah usaha sosial yang membudidayakan lebih dari 3.000 pohon lontar secara optimal dengan kapasitas produksi mencapai 5.000-15.000 pieces produk gula lontar per bulan.
Tarunira melibatkan lebih dari 150 petani lontar, 8 ibu rumah tangga, 12 pemuda lokal, dan 4 koordinator petani dari empat desa binaan yaitu yaitu Tianyar Barat, Tianyar Timur, Tianyar Tengah, dan Ban.
Baca juga: Tantangan Menggunakan Konsinyor dalam Bisnis dengan Sistem Konsinyasi
Di balik keberhasilan Tarunira sebagai usaha sosial berbasis pemberdayaan petani lontar di Karangasem, Bali, terdapat tantangan besar yang harus dihadapi Komang, terutama dalam mendorong transformasi digital bagi para petani.
Namun, dengan visi untuk memproduksi gula lontar organik berkualitas premium, Tarunira terus berupaya mengubah bisnis pertanian ini lebih modern dan efisien.
Saat berbincang dengan Kompas.com, Komang membagikan berikut ini tantangan dan strategi Tarunira dalam mendorong digitalisasi petani lontar.
Salah satu tantangan utama adalah mengedukasi petani tentang pentingnya beralih ke produksi organik. Seperti yang diketahui, Tarunira menjual produk gula semut lontar organik. Artinya penanaman dan produksi mereka juga tidak menggunakan bahan kimia.
Baca juga: Tantangan UMKM dalam Melakukan Ekspansi dan Cara Mengatasinya
Dalam hal ini, Komang mengaku masih terus mendorong lebih banyak para petani untuk beralih dari pertanian non-organik menjadi pertanian organik.
Ia juga menjelaskan, bahwa tidak semua gula merah itu organik, maka dari itu Komang ingin memastikan produk Tarunira berkualitas premium dengan SOP yang sesuai.
“Mungkin top challenges kami adalah mengubah mindset petani-petani kami untuk beralih dari non-organik ke organik. Ini PR besar kami juga untuk gimana caranya merangkul mereka,” cerita Komang kepada Kompas.com pada (21/11/2024).
Menjadi tantangan baginya untuk memberikan pemahaman kepada petani tentang pentingnya praktik organik. Mengubah kebiasaan lama menjadi praktik baru, tentu membutuhkan waktu dan pendekatan persuasif yang berkelanjutan.
Baca juga: Ciri, Keuntungan, dan Tantangan Bisnis Keluarga, Siap Jadi Penerus?
Solusi untuk mengatasi tantangan ini, Komang menekankan pentingnya percaya diri dalam memahami potensi tim dan komunitas. Pendekatan ini membantu tim Tarunira mengenali kekuatan yang dapat dioptimalkan dan kelemahan yang harus diatasi.
"Kalau ngomongin strategi, pertama percaya diri sih, percaya diri dan harus tahu kemampuan kamu sebagai founder, kamu punya timnya, kemampuannya seperti apa. Kemudian kamu punya petani, mereka punya apa. Jadi mencoba untuk meng-empower mereka kelebihannya di mana sih, kekurangannya apa, dan memperbaikinya bersama-sama," jelasnya.
Selain itu, petani lokal khususnya di daerah desa masih terbatas dalam penggunaan teknologi. Digitalisasi menjadi tantangan besar karena sebagian besar belum terbiasa dengan alat dan platform modern.
Baca juga: Tantangan Menjual Produk Tunggal dan Strategi untuk Mengatasinya
Maka dari itu, bertransformasi ke ara bisnis digital pun bukan hal yang mudah bagi Komang. Mengingat Tarunira yang melibatkan banyak petani lontar di Karangasem, Komang harus lebih ekstra meningkatkan digitalisasi di dalam ruang lingkup bisnisnya tersebut.
"Petani masih banyak yang belum familiar dengan teknologi. Ini bukan hal mudah, apalagi untuk membiasakan mereka dengan proses digital. Membiasakan petani dengan proses digital membutuhkan waktu dan usaha, tapi kami yakin ini bisa terwujud dengan kolaborasi yang baik," ujar Komang.
Solusi untuk mengatasi tantangan ini, Tarunira mulai menerapkan teknologi digital secara sederhana. Mereka memanfaatkan media sosial untuk pemasaran, e-commerce untuk distribusi, hingga AI untuk menciptakan konten kreatif.
"Digitalisasi kami memang masih sederhana, tapi ini sudah membantu banyak," tambahnya.
Baca juga: Saat Kemarau, Ini Strategi Pisang Goreng Bu Nanik Hadapi Tantangan Tak Adanya Bahan Baku
Dalam proses pengembangan, Tarunira menghadapi kendala pendanaan dan kurangnya akses ke ilmu baru. Komang percaya bahwa kemajuan tidak bisa dicapai sendirian. Dukungan dari program atau mitra yang dapat membantu memperkuat visi menjadi hal yang sangat penting.
"Tentunya dukungan finansial, moral dari ilmu dan lain sebagainya masih sangat kami harapkan. Semoga dalam perjalanan ini kami masih bisa diberikan kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman, dengan program-program yang memang bisa mendukung visi-visi kami,” ungkap Komang.
Baca juga: Ketahui 3 Tantangan Utama Menyusun Strategi Market Positioning
Lebih lanjut ia mengatakan, Tarunira masih membutuhkan lebih banyak kolaborasi dengan pihak-pihak lain yang mendukung visi dan program Tarunira. Namun, Komang optimis bahwa langkah baik yang ia lakukan melalui Tarunira bisa mempertemukannya dengan solusi-solusi kedepannya.
Solusi untuk mengatasi tantangan ini, kolaborasi menjadi strategi Tarunira. Dengan melibatkan mitra dari berbagai sektor, termasuk universitas-universitas.
"Karena tanpa kolaborasi tadi, ya kita nggak akan berjalan sih. Karena prinsip saya adalah ketika kamu berkolaborasi, kamu harus menurunkan ego kamu," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.