KOMPAS.com – Social Enterprise merupakan konsep bisnis, di mana pelaku usaha menyesuaikan bisnis mereka dengan tujuan menciptakan nilai sosial, tidak hanya berfokus pada keuntungan semata.
Seperti merek tenun dari Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Karaja Sumba. Brand ini dirintis oleh Roswita Asti Kulla sejak tahun 2019.
“Saya membangun brand ini, karena keresahan saya terhadap angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang masih tinggi di daerah saya,” ungkap Asti (31) saat acara Cerita Nusantara: Unveiling the Story of Indonesia Artistry, di Jakarta Convention Center (JCC), Selasa (28/11/2023).
Baca juga: Teten Masduki Optimis Produk Kriya dan Wastra Bisa Go Internasional
“Kebanyakan korban KDRT itu mereka yang tinggal di kampung dan desa. Kami mengedukasi mereka dengan cara memanfaatkan potensi lokal yang ada, yaitu menenun, agar mandiri secara perekonomian,” lanjut Asti.
Asti mengatakan, Karaja memiliki arti seni tangan menghitung atau “the art of counting”. Jadi, Karaja berarti kerajinan tangan yang memang terbuat dari hasil tangan terampil para pengrajin.
Karaja Sumba juga dirintis oleh Asti dengan harapan, bisa menjadi peluang kerja bagi ibu-ibu pengrajin tenun di daerah Sumba Barat.
Baca juga: Produk Model Bisnis Agregasi Dorong Sektor Wastra dan Kriya
“Brand ini juga berguna untuk menjaga kearifan budaya tenun, karena menggunakan bahan pewarna alami. Hasil tenunan yang pengrajin buat itu dari bahan alami, yaitu menggunakan 50 persen dari kapas asli lokal,” tutur Asti.
Sebagai brand dengan konsep social enterprise, Karaja Sumba saat ini sudah memberdayakan sebanyak 105 penenun yang merupakan ibu-ibu daerah Sumba Barat.
Meski demikian, Asti merasa kewalahan dengan permintaan tenun setiap tahunnya, sehingga ia berencana menambah jumlah pengrajinnya.
Baca juga: Kisah Widiati, Berbisnis Frozen Food untuk Bantu Kekhawatiran Para Ibu
“Produksi tenun kami dalam satu tahun bisa mencapai 1.000 lebih bahkan hampir mendekati 2.000 penjualan, sehingga kami cukup kewalahan,” ucap Asti.
Selain itu, sebesar 25 persen keuntungan dari Karaja Sumba, digunakan untuk program beasiswa mulai dari SD hingga S1. Jumlah penerima beasiswa S1 hingga saat ini ada sekitar 30 orang lebih dan sudah berjalan selama 4 tahun.
Sama seperti pelaku usaha lain, Asti mengaku juga mengalami hambatan dalam menjalankan bisnisnya, salah satunya terkait para pengrajinnya.
Baca juga: Kisah Saroni, Seorang Disabilitas yang Merintis Usaha Makanan Bermodal Rp 20 Ribu
“Kesulitan yang saya hadapi, yaitu penggunaan bahasa Indonesia yang masih sangat jarang, marketing sales, dan pengelolaan keuangan yang masih sulit di kalangan pengrajin,” ungkap Asti.
Selain itu, kondisi musim juga memengaruhi produksi tenun dari Karaja Sumba. Seperti yang dijelaskan Asti, ada beberapa bahan baku yang memang diperoleh ketika musim hujan, sehingga saat musim kemarau tiba, proses produksi jadi lebih sulit.
Karaja Sumba juga berfokus pada keberlanjutan. Oleh karena itu, Asti mengaku membutuhkan regenerasi, yang dapat meneruskan para ibu-ibu pengrajin di daerah Sumba Barat.
Baca juga: Ahmat Owner Rubycraft Ungkap Tips Menembus Pasar Internasional
“Saat ini, sekitar 30 persen dari total 105 pengrajin itu sudah dijalankan oleh anak muda. Itu karena, memang di desa kami menenun itu suatu kewajiban sejak usia tujuh tahun. Hal ini lantaran, kegiatan menenun sebagai salah satu basic skill untuk bekal bagi anak muda untuk ke depannya,” paparnya.
“Saya berharap Karaja Sumba dapat terus berlanjut memberikan dampak untuk kemandirian ekonomi, khususnya untuk ibu-ibu. Karena dari 2019 hingga saat ini, perekonomian ibu-ibu yang kami berdayakan, dapat meningkat di angka 25 persen hingga 50 persen,” tutup Asti.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.