JAKARTA, KOMPAS.com – Di sudut Padang Panjang, Sumatera Barat, Desa Wisata Kubu Gadang menjelma menjadi destinasi wisata yang menarik perhatian wisatawan.
Kisah Desa Wisata Kubu Gadang berawal dari sebuah kampung yang hanya memiliki sawah, tak ada pantai atau air terjun yang dapat dijadikan objek wisata. Namun, Kubu Gadang kini menjadi ikon desa wisata berbasis komunitas yang memadukan kekayaan budaya dan inovasi.
Baca juga: Desa Wisata Kubu Gadang Raih Juara 1 IMA UMKM Award 2024 Kategori Wisata
Perubahan ini tak lepas dari kerja keras Yuliza Zen (31), seorang perempuan muda yang memulai perjalanan transformasi ini pada usia 21 tahun. Di usianya yang masih belia, ia mulai bermimpi untuk mendorong potensi desanya.
“10 tahun sudah saya merintis dengan akar-akar rumput luar biasa dari masyarakat. Saat itu orang-orang bertanya, ‘Kita bisa apa? Kampung kita cuma punya sawah,’. Memang kami tidak ada pantai, laut, air terjun, hanya potensi budaya dan sawah,” kenangnya saat berbincang dengan Kompas.com di Jakarta, (6/12/2024).
Baca juga: UMKM Kategori Wisata dan Umum Raih Penghargaan IMA UMKM Award 2024
Pada tahun 2014, Yuliza memutuskan untuk memulai sesuatu yang berbeda di desanya. Ia percaya bahwa daya tarik wisata tidak hanya tentang pemandangan alam, melainkan juga aktivitas dan pengalaman unik yang ditawarkan masyarakat lokal.
Dengan semangat itu, Yuliza mulai membangun fondasi Desa Wisata Kubu Gadang. Bersama masyarakat, ia membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan merancang program wisata berbasis experiential learning.
Pengunjung diajak untuk belajar menanam padi, memasak rendang, hingga mencoba atraksi unik seperti silek lanyah (sebuah seni bela diri tradisional yang dilakukan di lumpur).
Baca juga: Kisah I Komang Sukarma, Berdayakan Petani Lontar di Karangasem Melalui Tarunira
“Kami ingin menunjukkan bahwa wisata bisa tentang pengalaman, bukan sekadar refreshing atau liburan, tapi tentang edukasi dan pengalaman. Sehingga kami concern terhadap membangun desa wisata yang berbasis experiental learning, dan menuju quality tourism, tidak hanya tentang kuantiti,” jelasnya.
Kreativitas ini membuahkan hasil. Atraksi-atraksi unik Kubu Gadang mulai menarik wisatawan dari dalam maupun luar negeri, termasuk dari Thailand, Amerika Serikat, dan Cina.
Pada 2016, dengan kreativitasnya, Yuliza tak hanya mengubah wajah desa tetapi juga cara pandang masyarakat tentang potensi kampung mereka. Homestay mulai dibangun, kuliner lokal juga dikemas lebih menarik, bahkan media dan program TV nasional mulai meliput desa ini.
Baca juga: Kisah Skinship Studio, Hadirkan Pengharum Ruangan yang Ramah Lingkungan
Namun, perjalanan Yuliza pun tidak selalu mulus. Salah satu tantangan terbesar adalah modal. Karena berada di kelurahan, Kubu Gadang tidak mendapatkan alokasi dana desa.
“Kami sering menangis. Sampai 183 kali rasanya kami bertanya, bagaimana caranya kami bisa membangun ini tanpa modal? Karena kami di kelurahan, tidak masuk ke dalam dana desa. Tapi kami berusaha untuk mengelola potensi-potensi yang ada,” ujar Yuliza.
Pandemi Covid-19 juga menjadi ujian berat. Pasar digital yang sempat mereka bangun pada 2018 runtuh, dan banyak program terpaksa dihentikan.
Namun, Yuliza dan masyarakat Kubu Gadang tidak menyerah. Mereka beralih ke model wisata edukasi, mengadakan pelatihan, dan menyelenggarakan berbagai acara.
Baca juga: Kisah Perajin Batik Kujur Tanjung Enim Angkat Warisan, Inovasi, dan Keberlanjutan
Pada akhirnya, mereka berhasil bangkit dan bahkan meraih penghargaan kategori Desa Wisata Maju dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023.