JAKARTA, KOMPAS.com - Siapa yang sarapannya nasi uduk? Siapa yang suka jajan rujak di saat istirahat jam kantor? Siapa yang suka beli baju bekas di marketplace?
Saya sendiri tak lepas dari nasi uduk dan kue-kue basah untuk sarapan. Makan siang, warung tegal (Warteg) jadi pilihan. Malam hari, angkringan jadi tujuan terakhir.
Hampir semua orang di ibu kota Jakarta bahkan di berbagai kota besar lain di Indonesia pasti pernah sarapan nasi uduk, jajan rujak, dan beli baju bekas di marketplace. Ya, kehidupan kita sehari-hari dipenuhi dengan produk-produk buatan dan dijual oleh anak bangsa.
Baca juga: Mindset jadi Tantangan Utama bagi UMKM Melakukan Transformasi Digital
Rasanya tak berlebihan jika Indonesia disebut sebagai "surga produk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)". Dari awal membuka mata sampai memejamkan mata setiap harinya, produk UMKM denga mudah ditemukan di sekitar kita.
Berdasarkan ASEAN Investment Report yang dirilis September 2022, Indonesia memiliki usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terbanyak di kawasan Asia Tenggara. Jumlah pelaku UMKM di Indonesia pada tahun 2021 mencapai sekitar 65,46 juta.
Jumlah UMKM di Indonesia mengalahkan Thailand, Malaysia, Filipina, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Pada tahun 2021, UMKM Indonesia tercatat mampu menyerap 97 persen tenaga kerja, menyumbang 60,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), serta berkontribusi 14,4 persen terhadap ekspor nasional.
Sadar atau tidak, kita tumbuh besar bersama produk UMKM. UMKM menjadi denyut nadi perekonomian Indonesia. Menjaga asa dan menyelamatkan UMKM, berarti menyelamatkan Indonesia.
Berbicara soal UMKM, rintangan yang kerap dihadapi tak melulu soal modal. Fakta di lapangan yang Kompas.com temukan saat ini justru adalah soal sumber daya manusia pelaku UMKM dan daya saing produk UMKM. Pengetahuan bisnis, literasi digital, manajemen pemasaran produk, akses pasar, dan rendahnya tingkat daya saing produk UMKM.
Dari sejumlah pelaku UMKM yang Kompas.com temui terungkap bahwa mereka tak tahu bagaimana meningkatkan kualitas produk dan cara menjual produk UMKM agar laris. Mereka pun bingung bagaimana produk UMKM buatan mereka bisa bersaing bahkan bisa menembus pasar ekspor.
Di kesempatan yang lain, banyak produk UMKM yang Kompas.com temukan punya potensi dan kualitas yang bisa bersaing dengan produk lainnya. Namun, mereka kesulitan untuk mengemas produknya dengan menarik dan memasarkan ke pelaku industri yang lebih besar. Para pelaku UMKM belum bergabung ke dalam ekosistem bisnis untuk berkembang lebih baik.
Baca juga: Presiden Jokowi Dorong Transformasi Digital Percepat Pemulihan Global
Jurang antar kelas di sektor UMKM pun bagaikan dalamnya Palung Mariana di Samudera Pasifik. KemenKopUKM mencatat jumlah pelaku usaha mikro pada tahun 2019 yakni sebanyak 64,6 juta. Jumlah pelaku usaha mikro tersebut setara 98,67 persen dari total jumlah UMKM di Indonesia.
Perbedaan jumlah yang sangat signifikan tersebut menjadi pekerjaan rumah lintas sektoral. Apalagi, banyak pelaku UMKM yang terpuruk di masa pandemi Covid-19. Percepatan dan transformasi digital di sektor UMKM menjadi agenda penting seluruh dunia termasuk Indonesia.
Dari pandemi Covid-19, Indonesia belajar soal perubahan perilaku pasar dan perubahan platform bisnis UMKM. Perilaku masyarakat menjadi serba digital. Pembatasan sosial dan interaksi fisik telah mendorong penggunaan e-commerce dan e-wallet secara masif.